RIWAYAT TANAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI) DI BUMI NUSANTARA


(kaitan dengan Pancasila, UUD 1945, UUPA, Reformasi Agraria dan Demokrasi Pancasila)

SEBELUM MASA PENJAJAHAN BELANDA.
               Penguasa dan pemilik tanah di Nusantara adalah  Kerajaan (tanah swaparaja) dan Mayarakat Adat (tanah ulayat).
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               
PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA.
Diberlakukan :
1.      Domain Verklaring : Semua tanah milik Pemerintah Jajahan kecuali apabila bisa membuktikan pemilikannya sehingga Pribumi dianggap sebagai OKUPAN (penggarap), karena pembuktian kepemilikan harus tertulis sesuai Hukum Perdara Barat, hal ini tidak memungkinkan bagi Masyarakat Adat.
2.      Agrarish Wet : untuk mengundang investor maka diterbitkan Hak Eigendom untuk hak milik, Hak Erpach untuk perkebunan, Hak Opstal untuk bangunan.  Tanah kerajaan dipetakan sebagai Sultan Ground (tanah swapraja). Hak Adat dan hak masyarakat adat tidak diakui.
3.      Kojnklik  Besluit : Hanya warga eropa yang dapat memiliki Hak Eigendom atau yang dipersamakan dengan warga eropa dengan Besluit dari Ratu Belanda, sehingga hanya dipunyai oleh warga timur asing yang kaya (seperti Oei Tiong Ham) dan para Raja2 nusantara yang berpengaruh.
4.      Hukum Perdata Barat.
               Sejak itu berduyun-duyun para kapitalis berkembang di bumi nusantara. Selama penjajahan terjadi ketidakadilan dan penghisapan manusia atas manusia dalam rangka pengembangan kolonial Belanda.
               Tahun 1928 terjadilah SUMPAH PEMUDA dimana  Bangsa Indonesia diikrarkan di Nusantara oleh para pemuda dari berbagai daerah Nusantara, walaupun sebelumnya telah ada pertemuan para raja se Nusantara  untuk bersatu tetapi belum sampai terwujud dalam bentuk ikrar kebulatan tekad  sebagaimana para pemudanya di Nusantara.

PADA MASA PROKLAMASI KEMERDEKAAN.
               Pada saat proklamasi kemerdekaan NKRI oleh Soekano-Hatta dinyatakan oleh Soekarno bahwa wilayah NKRI adalah wilayah bekas Jajahan Belanda dari Sabang sampai Marauke, namun disanggah oleh Gubernur Jenderal Belanda yang tidak rela melepaskan wilayahnya.  Raja Hamengkubuwono  IX yang diikuti Raja Pakualam VIII menggabungkan diri dengan NKRI saat itu juga, sedang raja-raja lainnya tidak bergabung dengan NKRI sehingga Nusantara menjadi Republik Indonesia Serikat, NKRI ada  dengan modal wilayah Jogjakarta.  Setelah Nusantara aman dari Gerakan Operasi Militer Belanda ke I & II maka Jogjakarta dinyatakan sebagai Daerah Istimewa (1953), sedangkan eks kerajaan lainnya tidak dinyatakan sebagai Daerah Istimewa, malah dinyatakan sebagai tanah yang menjadi milik bangsa Indonesia yang dikuasai negara dan dijadikan tanah obyek land reform dibagikan kepada para penggarapnya.                                    
            Sejak tahun 1948 telah terbentuk Panitia Agraria Jogjakarta dengan semangat  menegakkan keadilan dan menghapuskan penghisapan manusia atas manusia di tanah NKRI dengan menghindarkan diri dari NEO KOLONIALIS dan IMPERIALIS. Sangat disadari fondasi lokal Nusantara adalah agraris  dan maritim, maka tanah sebagai modal dasar bagi petani sebagai alat ekonomi dan tempat tinggal dan bagi nelayan sebagai tempat tinggal serta laut sebagi tempat mencari nafkah dengan perahu/kapal sebagai alat ekonominya.       
               Pada tahun 1960 di syahkan Undang-Undang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dikenal dengan UUPA  mencabut :
  1. Agrarisch Wet.
  2. Domein Verklaring.
  3. Kojnklik Besluit.
  4. Buku II Hukum Perdata Barat (Indonesia) sepanjang yang berkaitan dengan tanah tidak diberlakukan lagi dan diganti berdasarkan Hukum Adat.
               Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah penjabaran dari  Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Bumi, Air dan Ruang Angkasa serta kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, serta perekonomian dibangun berazaskan kekeluargaan (gotong royong). Selain itu UUPA juga menjabarkan sila-sila pada Pancasila ke dalam pasal-pasalnya, antara lain bahwa tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia bersifat ABADI.  Artinya Negara tidak memiliki tanah karena  Domein Verklaring tidak diberlakukan oleh NKRI. Pemilik tanah NKRI adalah Rakyat /Bangsa Indonesia termasuk kekayaan alam yang dikandungnya. Negara tidak memiliki tanah NKRI tetapi sebagai wakil organisasi bangsa menguasai tanah dalam arti mengatur pemilikan  dan memimpin penggunaannya  diwilayah tanah kedaulatan untuk kesejahteraan baik secara perorangan maupun bersama-sama (gotong-royong). Pengertian tanah di UUPA adalah kulit bumi termasuk diatas dan dibawahnya sepanjang berhubungan dengan penggunaan tanahnya, laut termasuk kulit bumi dan berada diatas tanah. Contoh lainnya, yaitu : hanya WNI yang dapat memiliki tanah, pemilikan tanah dibatasi, tanah pertanian hanya untuk petani, tanah berfungsi sosial, dilarang tanah sebagai barang spekulasi, monopoli tanah dilarang, kecuali diatur dalam undang2 tersendiri dsbnya. 
               BUNG KARNO  menyatakan bahwa tanggal 24 September 1960, hari lahirnya UUPA yang merupakan hari kemenangan bagi RAKYAT TANI INDONESIA, dengan diletakkan dasar-dasar bagi penyelenggaraan Land reform  untuk mengikis habis sisa-sia imperialisme   dalam lapangan pertanahan, agar rakyat tani dapat membebaskan dari segala macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan beralat tanah, menuju ke arah masyarakat adil dan makmur.                
               UUPA adalah alas bangunan NKRI menuju masyarakat adil dan makmur,  sehingga pada tahun 1963 terbit Keputusan Presiden  Republik Indonesia no 169/1963 tentang penetapan 24 september sebagai HARI TANI.  Amanat politik UUPA jelas sekali terbaca dalam konsideran Keppres tersebut bahwa  ; (i) Tanah sebagai  basis perekonomian nasional; (ii). Perekonomian yang berdaulat diatas kedaulatan rakyat tani; (iii). Menghindarkan diri dari Nekolim, neoimperialisme dan neokolonialisme, dalam bentuk penghisapan manusia atas manusia; (iv). Secara teknis dilaksanakan melalui dua sayap, land reform dan acces reform.
               Setelah UUPA dengan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu) no 224/1961 dlaksanakan Land reform terhadap tanah kelebihan pemilikan, tanah absente (tanah milik yang terletak di luar kecamatan dan kecamatan perbatasan letak tanah) , tanah swapraja (kerajaan/kraton) dan tanah ex swapraja yaitu tanah2 kerajaan yang tidak bergabung dgn NKRI pada masa RIS kecuali kraton Ngayogjakarta dan Pakualaman yang dinyatakan istimewa dan belum memberlakukan UUPA di Daetah Istimewa Yogyakarta.
ERA ORDE BARU.
               Tragedi tahun 1965 menghambat pelaksanaan land reform dengan  pergantian rezim pemerintahan karena disinyalemen bahwa UUPA berpaham kekiri-kirian oleh rezim orde baru. Padahal UUPA  merupakan penjabaran keagraiaan/pertanahan sebagai aplikasi  sila-sila dalam Pancasila  dan satu-satunya undang-undang yang dibuat oleh Panitia Negara di RI. UUPA berazaskan kerakyatan sebagai konsekwensi logis dari tanah merupakan karunia Tuhan YME kepada bangsa indonesia bersifat abadi, dimana rakyat adalah pemilik abadi tanah NKRI.
               Namun pada tahun 1967 terbitlah Undang-Undang Pokok Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan, Undang-Undang Pengairan, Undang-Undang Perindustrian dan Undang-Undang Penanaman Modal Asing/ Dalam Negeri tidak mengacu UUPA dan memberlakukan kembali Domein Verklaring untuk mengundang para kapitalis dan neoliberalis ke bumi Nusantara dengan dalih pembangunan membutuhkan investasi, sehingga mengakibatkan tumbuh suburnya para spekulan tanah dan monopoli tanah dikalangan konglomerat. Sejak saat itulah dimulai penjajahan periode kedua terhadap Rakyat indonesia oleh pihak luar yang difasilitasi bangsa sendiri.
               Padahal jika UUPA diberlakukan dan dijadikan acuan dari Undang-Undang lainnya yang berkaitan dengan tanah maka seluruh kekayaan alam yang terdapat di atas dan yang terkandung di dalam tanah adalah milik bangsa sehingga seluruh usaha yang terkait, yang  selama ini dilakukan Badan Usaha Milik Negara/Daerah ataupun kerja sama dengan pihak asing haruslah di audit setiap tahunnya sebagai pertanggung jawaban kepada bangsa selaku pemilik tanah.
               Dilain pihak Undang-Undang no 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang sifatnya menyeragamkan desa berakibat merusak tatanan Desa Adat apalagi dengan adanya Inpres Bantuan Desa menjadikan pemecahan Desa Adat secara administrasi.
               Rancangan Undang-Undang Pertanahan berdasarkan hukum adat sebagai penjabaran UUPA hingga saat ini belum terpikirkan untuk disusun oleh BPN RI, serat masih diberlakukannya bukti hak lama (Agrarich Wet) oleh Pengadilan Negeri yang berdasarkan Kitab Hukum Perdata Indonesia (yang mengacu pada hukum perdata Belanda), bukan hukum adat sebagaimana perintah UUPA, juga Pengadilan Land Reform dibubarkan dan hingga saat ini belum dibentuk Pengadilan Agraria/Pertanahan. Kesemuanya itu menambah makin ruwetnya  pertanahan di NKRI apalagi sampai saat ini belum terbangun data base bidang tanah secara nasional. Pembonsaian UUPA dan carut marut pertanahan di NKRI semakin marak sejak rezim orde baru yang berlangsung sampai saat ini.
               Kasus-kasus konflik agraria dimasyarakat yang marak terjadi saat ini menunjukkan adanya kebijakan negara yang salah yang terus dilaksanakan yaitu memberlakukan Domain Verklaring kembali di bumi nusantara  dan dibonsainya UUPA mengakibatkan menjerat rakyatnya sendiri sehingga tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan NKRI oleh bangsa Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta.


SARAN PEMECAHAN.
  1. Membangun data base Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) yang berisi  tentang informasi bidang tanah berupa penguasaan, pemilikan , penggunaan dan pemanfaatan tnah (P4T)  dengan melibatkan partisipasi masyarakat,  sekaligus menyadarkan akan catur tertib pertanahan yaitu Tertib administrasi pertanahan, Tertib hukum pertanahan, Tertib penggunaan tanah dan Tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Juga melaksanakan  inventarisasi tanah adat dan wilayah tanah ulayat, apakah masih ada lembaganya, apakah masih ada aturannya baik tertulis maupun lisan dan apakah masih dipatuhi oleh masyarakat adatnya, sebagai bahan referensi penyusunan Rancangan Undang-Undang Pertanahan berdasarkan Hukum Adat melalui Kelompok Swadaya Mayarakat Manajem Pertanahan Berbasis Masyarakat (KSM MPBM). KSM MPBM dipilih melalui Rembug Desa, 4 Pemuda Desa sebagai tim pengumpul dan pengelola data bidang tanah P4T, 5 Tokoh Masyarakat Desa yang menguasai riwayat tanah desa sebagai tim verifikasi data dan mediasi pertanahan. MPBM adalah pengelolaan administrasi pertanahan dalam satu unit masyarakat desa/kelurahan, merupakan upaya revitalisasi otonomi desa (sistem Pemerintahan Adat) dengan pendekatan partisipatif dan swadaya (self-governing community) dalam rangka mewujudkan masyarakat makmur mandiri dan alam lestari dengan menerapkan catur tertib pertanahan dalam kerangka NKRI.
  2. Melaksanakan UUPA secara konsekwen dengan men “judicial review” peraturan perundangan dan lembaga yang masih melaksanakan Domein Verklaring dan Agrarich Wet.
  3. Melaksanakan Land reform yang ditindak lanjuti akses reform, khususnya tanah pertanian sebagai modal ekonomi bagi Rakyat Petani Miskin pemilik NKRI dan memperkuat perekonomian nasional negara agraris. Demikian juga terhadap Nelayan dan warga Maritim, selain memberi tanah untuk tempat tinggal juga diberikan akses reform berupa sarana dan prasarana sebagai alat ekonominya untuk meningkatkan kesejahteraannya dan kedaulatannya. Petani penerima tanah obyek land reform diberikan hak sementara (non permanen) dilarang mengalihkan dan hanya boleh diwariskan kepada anaknya berprofesi petani dengan sepengetahuan Panitia Land Reform Desa setempat, demikian juga perlakuannya sama terhadap para Nelayan dan warga Maritim tersebut.
  4. Menyusun dan mengesahkan UU Pertanahan Nasional berdasarkan hukum adat sebagai tindak lanjut perintah UUPA. Hak atas tanah  berdasarkan hukum adat hanya dua yaitu hak tetap (permanen) dan hak sementara (non permanen), semuanya diatas Hak Milik Bangsa indonesia yang bersifat ABADI.  Tanah sebagai jaminan pinjaman di bank hanya sepanjang waktu hak yang diberikan, namun apabila diterlantarkan haknya hapus dan kembali menjadi  tanah milik bangsa indonesia yang dikuasai negara, maka yang bisa dijaminkan pada bank itu hanya kegiatan usahanya diatas tanah, hal tersebut juga  sebagai pembatasan gerak spekulan tanah dan pembobolan dana bank. Pembebasan tanah untuk kepentingan sosial dan infrastruktur lebih mudah karena ada data base bidang tanah maka harga tanah dapat di “freezing”, tidak masuk angin oleh para spekulan tanah, serta ada kesadaran bahwa tanah NKRI adalah milik semua Warga Negara Indonesia sehingga menumbuhkan rasa nasionalisme kebangsaan dan rasa sosial lebih peka dimasyarakat serta ihklas melepaskan hak atas tanahnya bagi kepentingan umum. Undang-Undang ini juga melindungi rakyat kecil yang berkaitan dengan tanah dari ketidakadilan berupa bentuk bagi hasil antara lain kerja sama opersional, built operation and transfer dan lain sebagainya maupun kegiatan konsolidasi tanah, land reajustmen dan land urban renewel.
  5. Untuk menegakkan keadilan dalam pertanahan harus dibentuk Pengadilan Khusus Keagrarian/Pertanahan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pertanahan, bukan lagi di Pengadilan Umum yang menganut Hukum Perdata Indonesia.
  6. Mengoptimalkan fungsi dan peranan hasil administrasi dan hukum pertanahan, yaitu sertipikat tanah sebagai sarana kontrol kepemilikan tanah dan tertib penggunaan tanah, tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.
  7. Menyusun Land Use Planning Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota dan Rencana Teknis Tata Guna Tanah yang berdasarkan data base bidang tanah. Dengan simtanas bidang tanah dapat diketahui Present Land Use, Land Capability (Wilayah Tanah Usaha) sehingga dapat dibuat Neraca Penggunaan Tanah yang memudahkan pembuatan Land Use Planning pada skala Pemerintahan sampai yang terbawah yaitu Desa/Kelurahan. Semua stake holder pertanahan harus tahu akan hak dan kewajibannya karena tertulis dalam sertipikat tanah dan sebagai sosial kontrol pengawasannya dibantu oleh KSM MPBM di desa/kelurahan yang bersangkutan dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Pemerintah Pusat membuat Norma, Standart dan Kriteria Penyusunan Tata Guna Tanah, Pemerintah Daerah membuat Rencana Tata Guna Tanah sedangkan masyarakat di desa mengawasi pelaksanaannya.
  8. Pemberian Hak Permanen pada tanah Keraton Ngayogjakarta dan Pakualaman serta untuk keraton-keraton lainnya hanya di lokasi keraton yang bersangkutan saja, tidak terhadap tanah yang di luar kraton (karena tanah diluar kraton sebagai tanah swapraja dan atau tanah eks swapraja telah dinyatakan oleh UU menjadi tanah negara yaitu tanah milik bangsa indonesia yang dikuasai negara dan  dijadikan obyek tanah land reform yang dibagikan pada petani penggarapnya). Demikian juga dengan Tanah Ulayat Masyarakat Adat yang masih eksis keberadaannya dilapangan sebagai mana hasil pendataan masyarakat melalui KSM MPBM.
  9. Agar tanah NKRI bisa dipergunakan oleh bangsa Indonesia sepanjang masa maka           urusan administrasi pengelolaan pertanahan yang meliputi penguasaan dan pemilikan tanah (land tenure), penggunaan tanah (land use), nilai tanah (land value) dan pengembangannya (land development) harus dalam satu manajemen (lembaga). Kebijakan pertanahan (land policy) untuk pembangunan berkelanjutan dapat disusun apabila ada simtanas bidang tanah diseluruh NKRI sampai pada tingkat pemerintahan terbawah (desa/kelurahan) telah terbangun, dapat dengan mudah terbangun apabila dengan partisipasi masyarakat secara gotong royong melalui KSM MPBM.
  10. BPN RI ( Lembaga Pemerintahan Non Kementrian) sebagai koordinator pengelola lokasi kegiatan dalam mensupport jalannya pembangunan , kedudukannya harus sejajar dengan Bappenas sebagai koordinator kegiatan/proyek dan Kementerian Keuangan sebagai penyedia anggaran dalam pembahasan RAPBN, demikian juga tingkat pemerintahan daerah dalam pembahasan RAPBD.
  11. BPN RI harus dipimpin oleh seorang karier di BPN   ataupun mantan BPN yang berpengalaman mempunyai jam terbang tinggi dan pernah menjabat di kebijakan, operasional, pengawasan, riset dan pengembangan , berintegritas tinggi, jujur dan mempunyai jiwa nasionalisme yang teruji. Hindari pimpinan BPN selama ini selalu bukan dari pejabat karier sehingga arah pembangunannya tidak jelas, tidak pernah ada pembinaan korps dan selalu ada kepentingan pribadi maupun kelompok dalam penempatannya sebagai Ka BPN RI.
  12. Merevitalisasi kembali Tupoksi BPN RI sebagaimana pada UUPA yaitu menegakkan keadilan dari penghisapan manusia atas manusia yang berkaitan dengan tanah, sebagai rasa mensyukuri karunia Tuhan YME oleh Bangsa Indonesia sebagai pemilik tanah yang bersifat ABADI.                           
  13. KSM MPBM dibekali dengan 4 buku yaitu Buku A berisi riwayat kepemilikan tanah, Buku B berisi hasil pemetaan bidang tanah yang sudah diverifikasi dan disetujui para pemilik tanah (stake holder) yang merupakan kontra diktur delimitasi relatif (belum tetap karena belum diukur secara kadastral), Buku C berisi mutasi tanah dan masalah pertanahan baik kepemilikan maupun penggunaan tanahnya, Buku D berisi Rencana Tata Ruang, Tata Guna Tanah, Tata Bangunan dan Tata Guna Air. Buku ABCD tersebut akan ditutup buku setiap akhir tahun atau pada saat adanya pergantian pejabat Kepala Desa/Kelurahan yang diketahui Pejabat BPN Kabupaten/Kota setempat. Data MPBM dapat dijadikan bahan aspirasi masyarakat pada Musyawarah Nasional Perencanaan Pembangunan Tingkat Kecamatan, demikian seterusnya sampai ke tingkat Pusat di Jakarta.
  14. KSM MPBM dapat diberdayakan sebagai Panitia Landreform Desa setempat dalam pelaksanaan Reforma Agraria dan bahkan bisa dijadikan embrio pembentukan Koperasi Primer (Koperasi Budaya, bukan sekedar ekonomi) di Desa, demikian selanjutnya di kecamatan menjadi Koperasi Sekunder, di kabupaten/kota menjadi Koperasi Tersier dan seterusnya sampai ke pusat menjadi Koperasi Budaya Nasional. Pada tingkatan Koperasi Tersier akan didapatkan tokoh masyarakat dari kecamatan yang bisa menjadi anggota legeslatif berkwalitas dan seorang pemimpin untuk memimpin kabupaten/kota yang besangkutan dengan cara musyawarah mufakat sebagaimana implementasi sila ke 4, Kerakyatan yang dipimpin dalam hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan sila ke 5, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang dimaksud dengan Demokrasi Pancasila, akar jati diri bangsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu kasih sayang, gotong royong, tolong menolong dan kekeluargaan. Bukan Demokrasi Barat dengan Pemilu dan Pilkada yang mendasarkan persaingan, individualistis, mencari kekuasaan dan uang untuk melanggengkan kekuasaannya dan seterusnya.                                                                              
  15. Kesemua hal tersebut sebagai aplikasi dari keempat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ikha dalam kaitannya dengan Demokrasi Pancasila serta tanah sebagai wahana kiprahnya rakyat dan pemerintah dalam NKRI.
  16. Bagaimana peran Partai Politik, seharusnya dalam rangka Nation and Character Building mempersiapkan Sumber Daya Manusia dengan pelatihan-pelatihan penyadaran ideologi kebangsaan maupun ketrampilan individu dalam menghadapi tantangan global, sebagaimana yang telah dirintis Yayasan Obor Tani Semarang membangun Sentra Pemberdayaan Tani Tanaman Buah Unggul pada 18 Desa di Jawa Tengah.

Jakarta, Desember 2011

Bambang Sulistyo Widjanarko
Pengamat Agraria/Pertanahan
Anggota Dewan Pengawas Yayasan Obor Tani Semarang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pengertian Tanah (Sebagai Pengetahuan Dasar/Elementer Keagrariaan)


PENGANTAR

Awal istilah TANAH yang ada pada UUPA (Undang – Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang biasanya disebut Undang-Undang Pokok agraria atau UUPA) sama dengan PERMUKAAN BUMI atau sama artinya dengan tanah yang dimaksud dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya yaitu “tanah airku” bukan “lahan airku”. Dan sekarang telah berkembang berbagai istilah yang mencoba membedakan tanah dan lahan, katanya hanya karena karena ingin mengindonesiakan istilah asing antara “Land(=lahan)” dan “Soil (=tanah)” atau ada udang dibalik rebutan kewenangan sebagaimana tanah adalah subsistem dari ruang berdasarkan apa yang didefinisikan menurut Undang-Undang Penataan Ruang.

Pengembangan Istilah tersebut adalah hasil rekayasa / pengembangan hukum yang sarat dengan duplikasi yang dampaknya dirasakan hingga saat ini yaitu penggunaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria belum mampu mengatasi kemiskinan yang melanda Indonesia. Pengelolaan sumber daya agraria tidak sinergis dan kompherensif (demikian pendapat pemenang hadiah nobel ekonomi tahun 2006) sehingga pengentasan kemiskinan belum berhasil walau sudah diupayakan sejak tahun 1976.

Oleh karena makna kata “TANAH” telah amat menyimpang dari sumber aslinya yaitu UUPA, maka pengetahuan elementer keagrariaan ini berfokus pada apa arti “TANAH MENURUT UUPA”.

Tulisan ini saduran bebas dari UUD 1945 dan UUPA terutama disarikan dari bagian : menimbang, berpendapat, memperhatikan, memutuskan, pasal 1 s/d pasal 19, penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal serta pidato-pidato pengantarnya dan jawaban Ketua DPR Gotong Royong saat UUPA diundangkan.

Semoga melalui pengetahuan elementer/dasar keagrariaan ini dapat menyadarkan pihak – pihak yang kreatif yang bernaung dibalik rebutan kewenangan kembali azas dasar (BACK TO BASIC) yang dianut UUPA dan semua pihak yang mempelajari masalah keagrariaan memahami betul makna “TANAH” sesuai dengan peraturan dasarnya yaitu UUPA.



Pemerhati Masalah Pertanahan


TANAH ADALAH :

PERMUKAAN BUMI DAN RUANG
TANAH sama dengan PERMUKAAN BUMI adalah karunia TUHAN YANG MAHA ESA (Pasal 1 ayat 2 Jo Pasal 4 ayat 1), diartikan sama dengan RUANG pada saat menggunakannya karena termasuk juga tubuh bumi dan air di bawahnya dan ruang angkasa di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dalam batas – batas menurut undang – undang ini dan peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi.

SESUATU YANG MAGIS
            Berpijak pada sifat materi sebagai unsur pembentuk alam semesta, TANAH MEMPUNYAI SIFAT MAGIS, mengandung semua unsur alam semesta, merupakan komponen tubuh fisik makhluk hidup, MINIATUR DARI ALAM SEMESTA (MIKRO KOSMOS), ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, harus dipelihara atau diusahakan dengan ketekunan, saling menghargai, ketulusan, kejujuran dan keharmonisan SUPAYA TANAH, ALAM SEMESTA DAN MANUSIA bersahabat dengan rukun, harmonis dan saling menguntungkan dalam satu kesatuan ekosistem bukan saling merugikan. Mereka bertiga dalam satu kesatuan ekosistem tidak luput dari evolusi waktu dengan segala perubahan – perubahan yang bersifat alamiah dan gejolak / revolusioner. Perubahan – perubahan dapat terjadi membuat diantara mereka “tersiksa” karena proses perubahan revolusioner, yang membuat “kaget” satu sama lain, sebagai proses kalibrasi pada saat ketidakharmonisan terjadi.
            Atas dasar sifat magis dari tanah, maka sifat, adat dan budaya masyarakat telah diakomodasikan dalam peraturan perundangan pertanahan, sebagaimana tercermin dalam Pasal 3 dan 5 UUPA :

Pasal 3
Dengan mengingat ketentuan – ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat (di dalam perpustakaan adat disebut “beschikkingsrecht), sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi.

 Penjelasan
Hukum Agraria Belanda “Agrarische Wet” tidak mengakui adanya hak ulayat dan sejenisnya, sehingga saat pembukaan hutan besar – besaran, masyarakat hukum adat diabaikan . UUPA mengakui hak adat sepanjang masih ada, dengan mendengar pendapatnya dan memberikan semacam “recognitie”, yang memang berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat, tetapi masyarakat tidak boleh menghalangi program nasional atau program pemerintah untuk peningkatan kesejahteraan.

Pasal 5
Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur – unsur yang bersandar pada hukum agama.

Penjelasan
            Penegasan bahwa hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yang baru / UUPA karena sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat banyak. Hukum agraria yang lama terdapat dualisme yaitu di satu pihak hukuk tanah tunduk pada hukum adat dan di lain pihak tunduk pada hukum barat yang berpokok pada ketentuan – ketentuan dalam Buku II Kitab Undang – undang Hukum Perdata Indonesia.

SUMBER DAYA EKONOMI
Oleh karena  bumi tidak pernah bertambah besar, kecuali semakin tua mengikuti perubahan waktu, maka tanah atau permukaan bumi merupakan barang terbatas, sumber daya yang bernilai ekonomis paling strategis, langka dan semakin langka karena manusia selalu bertambah jumlah dan nafsunya, sementara tanah tidak bertambah atau tidak diperbaharui, bahkan bertambah tua / lumpuh / karena proses waktu sekalipun tidak digunakan. Dari segi persediaan (supply), tanah merupakan barang langka sehingga memiliki fluktuasi ekonomis yang tidak normal, oleh karenanya manusia rela berperang memperebutkannya, sejalan dengan pepatah jawa “sedumuk bathuk senyari bumi den lakoni taker pati”.

Sumber – sumber agraria adalah bumi (permukaannya disebut TANAH), air (air permukaan, air bawah tanah, air laut) dan, ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya (tambang) dengan kata lain diantara TANAH, AIR, RUANG ANGKASA dan TAMBANG maka TANAH yang memiliki nilai paling strategis karena TAMBANG, AIR dan RUANG ANGKASA semua terikat dan melekat pada TANAH.

Karena bumi tidak luput oleh pengaruh waktu, bahwa degradasi bumi tetap terjadi walaupun dibiarkan tidak dieksploitasi, maka apalagi dieksploitasi wajib bagi siapa saja menjaga kesuburannya serta mencegah kerusakannya agar tanah dapat dimanfaatkan untuk generasi yang akan datang. (Pasal 15)
Demikian langkanya tanah tersebut karena tidak akan pernah bertambah luas permukaan bumi itu, maka penguasaan tanah pertanian milik pribadi mutlak dibatasi luasannya, sedangkan untuk tanah non pertanian dibatasi jumlah bidangnya agar pihak lain memperoleh kesempatan yang sama dalam mengakses tanah.

PEREKAT NKRI
            Seorang rela mati bila tanahnya diklaim atau diduduki orang lain. Suatu bangsa perang berkepanjangan karena perebutan teritorial. Semakin dewasa paham demokrasi, semakin “cerdik” strategi memperluas teritorial. Ingat kasus pulau Nipah pulau terluar NKRI yang berbatas dengan Singapura, membuat batas Singapura meluas ke arah NKRI karena penambangan golongan C pasir laut membuat pulau tersebut tenggelam hanya demi kepentingan lokal atau sesaat. Begitu mengerikan dampak terhadap keutuhan NKRI bila urusan pertanahan diserahkan menjadi urusan rumah tangga Daerah.
            
            Secara tegas UUPA menyatakan sifat Nasional urusan pertanahan sebagaimana Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA, dan kalaupun terjadi pembagian kewenangan pemerintahan demi efisiensi dan efektifitas penyelenggaraannya, wewenang mengatur yang bersumber dari hak menguasai dari Negara berdasarkan Pasal 2 UUPA maksimum dapat dikuasakan atau medebewind (bukan diserahkan / bukan diotonomikan) kepada Daerah dan masyarakat – masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan Peraturan Pemerintah.

PEMBANGUN KONDISI KEBERSAMAAN / HARMONIS
            Manusia sejak lahir sudah hidup secara berkelompok mulai dari keluarga, rukun tetangga, dusun, kampung, desa, kelurahan, kabupaten, provinsi, bangsa dan negara. Dengan kata lain manusia, secara alamiah disebut makhluk ganda, memiliki sifat individu dan sekaligus memiliki rasa solidaritas ciri utama dari makhluk sosial. Kedudukan tanah juga diwarnai oleh sifat manusia, yaitu sebagai benda ekonomi yang harus dibatasi dengan patok batas permanen dan sama- sama diakui oleh tetangga yang bersebelahan, juga sebagai aset sosial (hak atas tanah berfungsi sosial sebagaimana Pasal 6 UUPA) yang mana pemiliknya tidak patut bersikukuh terhadap tanahnya bila penduduk sekitarnya membutuhkannya (kepentingan orang banyak memerlukannya), bahkan untuk kepentingan umum hak atas tanah bisa dicabut (Pasal 18 UUPA).
             
            Fungsi sosial hak atas tanah pembangun azas kebersamaan yang ingin diwujudkan oleh UUPA misalnya seorang yang hanya mampu mengolah tanahnya dengan produksi lebih rendah karena sambilan, sebaiknya merelakan tanahnya dikerjakan orang lain yang lebih mampun memberi hasil lebih tinggi (Pasal 6 Jo Pasal 10 UUPA). Karena hasil yang lebih tinggi berguna bagi kesejahteraab orang lebih banyak.
            
             Terhadap tanah pertanian, yang dilarang apabila yang memiliki bukan petani (Pasal 10), kecuali PNS untuk persiapan masa pendiun dengan luasan terbatas. Larangan diberlakukan juga bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan letak tanah yang disebut pemilikan secara absente (kecuali kecamatan berbatasan). Jadi tanah pertanian hanya boleh dimiliki oleh petani dan / atau tidak absente.
             
           Pengaturan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah sebagaimana yang disebut dengan rencana tata guna tanah juga berfungsi sebagai pembangun azas kebersamaan karena sifatnya berjenjang yaitu rencana tata guna tanah skala nasional memayungi rencana tata guna tanah skala provinsi selanjutnya menjadi payung atau pedoman bagi rencana tata guna tanah tingkat Kabupaten / Kota.  Mekanisme pengendaliannya melalui pengesahan peraturan daerah oleh pemerintah yang lebih tinggi sebelum dinyatakan sah sebagai acuan pembangunan (Pasal 14 UUPA).
           
         Kebersamaan juga dibangun melalui peniadaan ketimpangan dalam pemilikan tanah pertanian sehingga memiliki tanah melampaui luas maksimum yang diperkenankan dalam suatu kabupaten (yang biasanya ditetapkan berdasarkan kepadatan penduduk) dilarang (Pasal 7 UUPA).
    
           Kebersamaan juga dibangun melalui larangan adanya praktik monopoli swasta dalam lapangan agraria (Pasal 13) kecuali diselenggarakan dengan Undang – undang. Kerjasama yang mengandung unsur pemerasan atau penindasan dilarang antara pemilik dan penggarap atau pihak yang ekonomis kuat atas yang ekomonis lemah. Usaha bersama di lapangan agraria lebih disarankan dengan bentuk kooperasi (Pasal 10,11 dan 12 UUPA).

PEMBANGUN SISTEM KEMASYARAKATAN NON DISKRIMINASI
            Dalam hal pewarisan adat dan agama terdapat perbedaan antara wanita dan pria  dalam memperoleh porsi warisan. UUPA tidak membedakan antara wanita dan pria dan juga tidak membedakan suku bangsa dan agama. Hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan penuh dengan tanah dan wanita maupun pria memiliki kesempatan yang sama (Pasal 9 UUPA).

PENGAMAN KEPASTIAN KEPENTINGAN PRIBADI
            Pengaturan dan penyelenggaraan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah mengutamakan kepentingan kelompok bukan berarti kepentingan pribadi tidak diakui. Hak atas tanah lahir dibawah naungan kepentingan umum adalah sejalan dengan konsepsi evolusi alam semesta yaitu suatu konsepsi/kaidah dimana kepentingan individu selalu mempertimbangkan keunggulan kepentingan bersama / umum. Hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 4 yang terdiri dari : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut dahulu yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana Pasal 16 UUPA adalah wewenang yang diberikan kepada pemegang hak untuk menggunakan tanah dalam arti ruang yaitu permukaan bumi di atas dan di bawahnya, sebatas yang diperlukan bagi operasional penggunaan dan pemanfaatan tanah yang dikuasainya sesuai dengan batasan – batasan yang ada menurut rencana tata guna tanah (Pasal 2 Jo Pasal 14 UUPA).

ASET TIDAK BERGERAK BERSIFAT UNIK YANG SISTEM ADMINISTRASINYA BUKAN LAYANAN PUBLIK BIASA.
Supaya hal tersebut memiliki kepastian hukum baik kepastian kewenangan / hak maupun kewajiban potensial yang menyertainya demi kepentingan kelompok yang lebih luas / umum (Pasal 14 dan 18 UUPA Jo PP 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah) maka hubungan hukum dan perbuatan hukum atas tanah harus didaftarkan secara tertulis baik posisinya, subyek yang menguasai atau yang berhak, maupun jenis penggunaan tanah yang diijinkan termasuk kewajiban / batasan-batasan yang dikenakannya serta perbuatan hukum yang dialami oleh tanah tersebut (Pasal 19 UUPA Jo PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).

Salinan dokumen pendaftarannya tersebut dipegang oleh yang bersangkutan yang disebut sertipikat tanah yang merefleksikan hal yang sama dengan arsip hidup yang ada di Kantor Pertanahan (buku/Warkah Tanah). Arsip hidup sama dengan arsip yang tidak akan/pernah dimusnahkan seperti arsip lainnya artinya selalu dipelihara baik perubahan subyeknya, perubahan jenis haknya maupun perubahan pengenaan kewajiban penatagunaan tanahnya.

Oleh karena sertipikat sebagai dokumen tertulis tentang tanah dengan muatan multi makna, meliputi :
  • Permukaan bumi dan ruang
  • Sesuatu yang magis
  • Sumber daya ekonomi
  • Perekat NKRI
  • Penstimulasi kondisi kebersamaan / harmonis
  • Pembangun sistem kemasyarakatan non diskriminasi
  • Pengaman kepastian kepentingan pribadi
  • Aset tidak bergerak bersifat unik yang sistem administrasinya bukan tata usaha layanan publik biasa.

Tanah adalah benda tidak bergerak menopang multi aspek, karena jumlahnya terbatas, memiliki nilai ekonomis semakin tinggi bila kepadatan penduduknya semakin tinggi pula. Sebidang tanah tidak bisa mensubstitusi / menggantikan bidang tanah yang lain karena baik letak, sifat maupun daya dukunya bersifat unik.

Karena bersifat unik serta memikul makna multi aspek, maka sistem pengadministrasiannya bukan seperti administrasi aset pada umumnya. Pelayanan penerbitan sertipikat tanah merupakan satu paket kegiatan yang mulai sejak (1) Penataan,  (2) Pemberian / penerbitan Surat Keputusan hak atas tanah, (3) Pendaftaran hak atas tanah, hingga (4) Pengendalian bidang tanah.

Maka pelayanan sertipikat tidak tepat diklasifikasikan sebagai produksi layanan umum masyarakat semata, bahkan sertipikat lebih berperan sebagai alat pengendali bagi Pemerintah dan Masyaraat agar hubungan hukum dan perbuatan hukum antara subyek (pemilik atau yang menguasai) dan obyek (sebidang tanah) selalu dalam koridor perwujudan masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Azas keadilan dan pemerataan diperhitungkan bagi seluth rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dalam wadah NKRI. Maka sudah sewajarnya Pulau Jawa sebagai penyangga pangan nasional tidak dengan mudahnya melakukan konversi sawah lestari, masyarakat yang berdomisili dan hidup di daerah hulu yang berfungsi sebagai penyangga air permukaan maupun air bawah tanah serta pengendali sedimentasi, sudah sewajarnya mengekang kepentingan ego ekonomisnya menanam tanaman semusim misalnya kentang/tembakau yang memiliki nilai ekonomi dengan mengabaikan pelestarian lingkungan hidup atau membiarkan tetangga di bawahnya keseringan menderita kebanjiran atau kekeringan.

Azas keadilan dan sebesar-besar kemakmuran rakyat NKRI merupakan sifat Nsional dari manajemen pertanahan, maka database bidang tanah harus dikelola melalui sistem jaringan online se Indonesia / terpusat seiring dengan sistem kependudukan (misalnya nama di KTP yang bersifat nasional sama dengan nama di sertipikat tanah, yang diunikan oleh tanggal lahir dan nama Ibu Kandung). Demikian langkanya tanah tersebut karena tidak akan pernah bertambah luas permukaan bumi itu, maka penguasaan tanah milik pribadi mutlak dibatasi luasannya. Dengan terpusat maka ketentuan batas maksimum pemilikan tanah dapat diterapkan.

Pemahaman masyarakat umum yang telah berkembang saat ini telah menyimpang dari UUPA. Penyelenggaraab pendaftaran tanah yang mendasarkan PP 10 Tahun 1961, saat ini telah dicabut diganti dengan PP 24 tahun 1997, yang menurut UUPA adalah kewajiban pemerintah. Penerbitan sertipikat telah menjadi layanan publik semata-mata, bahkan Pemerintah mencari uang dalam menerbitkan sertipikat tanah (karena terbatasnya anggaran negara atau karena belum menyadari pentingnya kedudukan manajemen pertanahan bagi kemajuan bangsa), dan karena mencari uang maka banyak pihak berpersepsi dapat diotonomikan sebagai sumber penghasilan Pemerintan Daerah.

Mekanisme penerbitan sertipikat tanah dimulai dari : pertama, identifikasi rekomendasi / persyaratan penataan dan pengaturan pertanahan, dilanjutkan, kedua, dengan proses pemberian dan penetapan jenis hak dan ketiga, dilanjutkan dengan penduplikasian kegiatan pertama dan kedua, yang disebut “sertipikat tanah” yang dipegang oleh yang bersangkutan, sedangkan buku tanah / warkah adalah arsip hidup disimpan di kantor pertanahan, keempat, diakhiri dengan pengendalian bidang tanah guna memenuhi persyaratan penataan pertanahan.

Oleh karena sertipikat berproses mulai dari kegiatan kesatu, kedua, ketiga dan keempat merupakan satu rangkaian kegiatan utuh dari manajemen pertanahan maka, pensertipikatan tanah bukan layanan publik seperti yang umum dikenal seperti layanan Surat Ijin Mengemudi, STNK, KTP dll.

Sertipikasi tanah adalah produk final dari manajemen pertanahan yang berfungsi sebagai alat bukti pemilikan sekaligus sebagai sarana pengendali bidang tanah menuju tanah untuk kemakmuran dan keadilan serta menjamin kelangsungan pembangunan berkelanjutan bagi seluruh rakyat NKRI. Oleh karenanya maka penerbitan sertipikat tanah hanya dapat dikelola dalam satu sistem terpusat.

Catatan :
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dari perenungan selama mengabdi 33 tahun sebagai PNS Agraria /Pertanahan, semoga berguna untuk pencerahan semua orang yang masih berhubungan dengan tanah di NKRI

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

MPBM Jawa Tengah Sejalan Dengan PNPM


Otonomisasi Pemerintahan (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) dan perangsangan Penanaman Modal (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal) telah dengan sengaja berusaha memudarkan sifat ke Nasionalan dan Kerakyatan dari urusan pertanahan berdasarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). Penyebab timbulnya upaya pemudaran ini lebih besar bersumber dari tekanan ekternal ketimbang internal pengelola urusan pertanahan. Bangsa Indonesia secara bertubi-tubi mendapatkan cobaan dan rongrongan agar NKRI terpecah belah. Hal ini berdampak pada penanganan urusan pertanahan yang hingga kini mendapatkan perhatian sebelah mata sebagaimana adanya ketidakseimbangan bangunan kelembagaannya terhadap tanggung jawab yang dibebankannya.

Pembangunan kelembagaan pertanahan sejak Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 mengalami pasang surut. Fusi antara yang menangani hak (hukum), pendaftaran tanah (kadastral), penggunaan tanah (land use) dan penguasaan tanah (landreform) dalam satu atap Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negeri adalah upaya menyatukan agar dapat dikelola secara utuh penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) secara terintergrasi. Pengelola P4T kemudian dirasakan tidak mampu mewujudkan tanggung jawabnya jika administrasi pertanahan berada di bawah administrasi pemerintahan dalam negeri oleh karena terdapat kekhususan tanggung jawab yaitu menyangkut kontribusi administrasi pertanahan (P4T) terhadap kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat NKRI pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Dengan pengalaman tersebut Pemerintah membentuk Badan Pertanahan Nasional yang berasal dari Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negeri. Setelah berbentuk BPN dan saat ini disebut BPN RI adalah lembaga yang mengelola administrasi pertanahan seluruh wilayah NKRI. BPN RI memiliki Kantor Wilayah BPN di tingkat Provinsi dan Kantor Pertanahan di tingkat Kabupaten/Kota adalah perangkat pemerintah pusat yang ada di daerah. Kewenangan pemberian hak atas tanah dan pendaftarannya sudah didesentralisir kepada Kantor Pertanahan bukan ke Pemerinatah Daerah. Sedangkan sebagian dari urusan pertanahan meliputi sembilan kegiatan telah didesentralisir kepada Pemerintah Daerah sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
  
Setelah ada pelimpahan 9 kegiatan tersebut kepada Daerah dan semakin luas kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah, timbul pertananyaan apakah 9 kegiatan urusan pertanahan tersebut sudah ada pemerintah daerah yang dapat melakukannya sesuai dengan tuntutan masyarakat. Pada kenyataannya terdapat keraguan dalam melaksanakan 9 kegiatan tersebut. Salah satunya adalah rencana penggunaan tanah berupa jenis kegiatan apa yang boleh ada di atas sebidang tanah yang paling efektif, baik secara ekonomis maupun pelestarian lingkungan hidup untuk mewujudkan kemakmuran dari tanah, diukur melalui produktivitas atau melalui nilai ekonomi kawasan. Dengan kata lain daun jatuh di atas setiap bidang tanah dapat dipastikan memberikan kemakmuran, tetapi juga tidak merusak lingkungan hidup bagi pemilik maupun masyarakat.

Dengan tanggung jawab memastikan daun jatuh di atas sebidang tanah setiap saat, maka tanpa didukung partisipasi penuh masyarakat dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan tanggung jawab pusat maupun daerah, lembaga pertanahan yang ada pada tingkatan kabupaten/kota tidak akan mampu memikulnya.
 
Sistem Informasi Pertanahan Nasional (SIMTANAS) yang berguna bagi daerah untuk menyusun rencana penggunaan tanah belum lagi terbangun. Tidak tertibnya sistem penatausahaan surat keterangan tanah dari desa yang menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pemberian hak dan pendaftarannya, serta belum terbangunnya kesadaran masyarakat atas kewajiban yang harus dipenuhi apabila menguasai dan menggunakan tanah menjadikan kelembagaan pertanahan belum efektif dalam mengemban tanggung jawab. Kemampuan Pemerintah membangun pendaftaran bidang tanah dengan hasil 30% selama kurun waktu 47 tahun, berarti diperlukan ratusan tahun untuk membangun SIMTANAS.

Sumber utama lambatnya proses pelayanan pertanahan mendukung penananaman modal termasuk pendaftaran tanah adalah sebagian besar disebabkan karena data base bidang tanah belum terbangun di seluruh Indonesia. Pembangunan data base bidang tanah memerlukan biaya yang sangat besar. Selain masalah data base, hal yang paling mendasar adalah dapat dipastikannya setiap pemilik atau yang menguasai bidang tanah dapat menggunakan tanah dan menjamin memberikan nilai tambah yang signifikan berkontribusi kepada kemakmuran dan pelestarian lingkungan. Sasaran demikian tanpa partisipasi masyarakat mustahil dapat dilaksanakan.

Oleh karena itu maka sudah saatnya  Bangsa Indonesia melihat kembali hasil pengembangan pasal 33 ayat 3 dan Pasal 18 UUD 1945 yang mendasari penyelenggaraan manajemen pertanahan nasional dan manajemen pemerintahan dalam negeri. Perlu dipertanyakan kontribusi penanganan manajemen pertanahan terhadap pengentasan kemiskikan.

Jawa Tengah telah mulai langkah besar dengan membangun manajemen pertanahan berbasis masyarakat (MPBM) melalui gotong royong dan pemberdayaan masyarakat agar dalam kurun waktu 5-10 tahun dapat dibangun di 8.553 desa. Dengan menggunakan pendekatan gotong royong dan partisipasi masyarakat serta koordinasi instansi terkait dan lembaga swadaya masyarakat maka hal ini sejalan dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), sebagaimana pidato Bapak Presiden dan masyarakat Jawa Tengah telah terlebih dahulu mencoba dan mengembangkan konsepsi serta membiayai pembangunannya.

Bambang S. Widjanarko,
Mantan Kakanwil BPN Jawa Tengah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS