Pengertian Tanah (Sebagai Pengetahuan Dasar/Elementer Keagrariaan)


PENGANTAR

Awal istilah TANAH yang ada pada UUPA (Undang – Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang biasanya disebut Undang-Undang Pokok agraria atau UUPA) sama dengan PERMUKAAN BUMI atau sama artinya dengan tanah yang dimaksud dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya yaitu “tanah airku” bukan “lahan airku”. Dan sekarang telah berkembang berbagai istilah yang mencoba membedakan tanah dan lahan, katanya hanya karena karena ingin mengindonesiakan istilah asing antara “Land(=lahan)” dan “Soil (=tanah)” atau ada udang dibalik rebutan kewenangan sebagaimana tanah adalah subsistem dari ruang berdasarkan apa yang didefinisikan menurut Undang-Undang Penataan Ruang.

Pengembangan Istilah tersebut adalah hasil rekayasa / pengembangan hukum yang sarat dengan duplikasi yang dampaknya dirasakan hingga saat ini yaitu penggunaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria belum mampu mengatasi kemiskinan yang melanda Indonesia. Pengelolaan sumber daya agraria tidak sinergis dan kompherensif (demikian pendapat pemenang hadiah nobel ekonomi tahun 2006) sehingga pengentasan kemiskinan belum berhasil walau sudah diupayakan sejak tahun 1976.

Oleh karena makna kata “TANAH” telah amat menyimpang dari sumber aslinya yaitu UUPA, maka pengetahuan elementer keagrariaan ini berfokus pada apa arti “TANAH MENURUT UUPA”.

Tulisan ini saduran bebas dari UUD 1945 dan UUPA terutama disarikan dari bagian : menimbang, berpendapat, memperhatikan, memutuskan, pasal 1 s/d pasal 19, penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal serta pidato-pidato pengantarnya dan jawaban Ketua DPR Gotong Royong saat UUPA diundangkan.

Semoga melalui pengetahuan elementer/dasar keagrariaan ini dapat menyadarkan pihak – pihak yang kreatif yang bernaung dibalik rebutan kewenangan kembali azas dasar (BACK TO BASIC) yang dianut UUPA dan semua pihak yang mempelajari masalah keagrariaan memahami betul makna “TANAH” sesuai dengan peraturan dasarnya yaitu UUPA.



Pemerhati Masalah Pertanahan


TANAH ADALAH :

PERMUKAAN BUMI DAN RUANG
TANAH sama dengan PERMUKAAN BUMI adalah karunia TUHAN YANG MAHA ESA (Pasal 1 ayat 2 Jo Pasal 4 ayat 1), diartikan sama dengan RUANG pada saat menggunakannya karena termasuk juga tubuh bumi dan air di bawahnya dan ruang angkasa di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dalam batas – batas menurut undang – undang ini dan peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi.

SESUATU YANG MAGIS
            Berpijak pada sifat materi sebagai unsur pembentuk alam semesta, TANAH MEMPUNYAI SIFAT MAGIS, mengandung semua unsur alam semesta, merupakan komponen tubuh fisik makhluk hidup, MINIATUR DARI ALAM SEMESTA (MIKRO KOSMOS), ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, harus dipelihara atau diusahakan dengan ketekunan, saling menghargai, ketulusan, kejujuran dan keharmonisan SUPAYA TANAH, ALAM SEMESTA DAN MANUSIA bersahabat dengan rukun, harmonis dan saling menguntungkan dalam satu kesatuan ekosistem bukan saling merugikan. Mereka bertiga dalam satu kesatuan ekosistem tidak luput dari evolusi waktu dengan segala perubahan – perubahan yang bersifat alamiah dan gejolak / revolusioner. Perubahan – perubahan dapat terjadi membuat diantara mereka “tersiksa” karena proses perubahan revolusioner, yang membuat “kaget” satu sama lain, sebagai proses kalibrasi pada saat ketidakharmonisan terjadi.
            Atas dasar sifat magis dari tanah, maka sifat, adat dan budaya masyarakat telah diakomodasikan dalam peraturan perundangan pertanahan, sebagaimana tercermin dalam Pasal 3 dan 5 UUPA :

Pasal 3
Dengan mengingat ketentuan – ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat (di dalam perpustakaan adat disebut “beschikkingsrecht), sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi.

 Penjelasan
Hukum Agraria Belanda “Agrarische Wet” tidak mengakui adanya hak ulayat dan sejenisnya, sehingga saat pembukaan hutan besar – besaran, masyarakat hukum adat diabaikan . UUPA mengakui hak adat sepanjang masih ada, dengan mendengar pendapatnya dan memberikan semacam “recognitie”, yang memang berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat, tetapi masyarakat tidak boleh menghalangi program nasional atau program pemerintah untuk peningkatan kesejahteraan.

Pasal 5
Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur – unsur yang bersandar pada hukum agama.

Penjelasan
            Penegasan bahwa hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yang baru / UUPA karena sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat banyak. Hukum agraria yang lama terdapat dualisme yaitu di satu pihak hukuk tanah tunduk pada hukum adat dan di lain pihak tunduk pada hukum barat yang berpokok pada ketentuan – ketentuan dalam Buku II Kitab Undang – undang Hukum Perdata Indonesia.

SUMBER DAYA EKONOMI
Oleh karena  bumi tidak pernah bertambah besar, kecuali semakin tua mengikuti perubahan waktu, maka tanah atau permukaan bumi merupakan barang terbatas, sumber daya yang bernilai ekonomis paling strategis, langka dan semakin langka karena manusia selalu bertambah jumlah dan nafsunya, sementara tanah tidak bertambah atau tidak diperbaharui, bahkan bertambah tua / lumpuh / karena proses waktu sekalipun tidak digunakan. Dari segi persediaan (supply), tanah merupakan barang langka sehingga memiliki fluktuasi ekonomis yang tidak normal, oleh karenanya manusia rela berperang memperebutkannya, sejalan dengan pepatah jawa “sedumuk bathuk senyari bumi den lakoni taker pati”.

Sumber – sumber agraria adalah bumi (permukaannya disebut TANAH), air (air permukaan, air bawah tanah, air laut) dan, ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya (tambang) dengan kata lain diantara TANAH, AIR, RUANG ANGKASA dan TAMBANG maka TANAH yang memiliki nilai paling strategis karena TAMBANG, AIR dan RUANG ANGKASA semua terikat dan melekat pada TANAH.

Karena bumi tidak luput oleh pengaruh waktu, bahwa degradasi bumi tetap terjadi walaupun dibiarkan tidak dieksploitasi, maka apalagi dieksploitasi wajib bagi siapa saja menjaga kesuburannya serta mencegah kerusakannya agar tanah dapat dimanfaatkan untuk generasi yang akan datang. (Pasal 15)
Demikian langkanya tanah tersebut karena tidak akan pernah bertambah luas permukaan bumi itu, maka penguasaan tanah pertanian milik pribadi mutlak dibatasi luasannya, sedangkan untuk tanah non pertanian dibatasi jumlah bidangnya agar pihak lain memperoleh kesempatan yang sama dalam mengakses tanah.

PEREKAT NKRI
            Seorang rela mati bila tanahnya diklaim atau diduduki orang lain. Suatu bangsa perang berkepanjangan karena perebutan teritorial. Semakin dewasa paham demokrasi, semakin “cerdik” strategi memperluas teritorial. Ingat kasus pulau Nipah pulau terluar NKRI yang berbatas dengan Singapura, membuat batas Singapura meluas ke arah NKRI karena penambangan golongan C pasir laut membuat pulau tersebut tenggelam hanya demi kepentingan lokal atau sesaat. Begitu mengerikan dampak terhadap keutuhan NKRI bila urusan pertanahan diserahkan menjadi urusan rumah tangga Daerah.
            
            Secara tegas UUPA menyatakan sifat Nasional urusan pertanahan sebagaimana Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA, dan kalaupun terjadi pembagian kewenangan pemerintahan demi efisiensi dan efektifitas penyelenggaraannya, wewenang mengatur yang bersumber dari hak menguasai dari Negara berdasarkan Pasal 2 UUPA maksimum dapat dikuasakan atau medebewind (bukan diserahkan / bukan diotonomikan) kepada Daerah dan masyarakat – masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan Peraturan Pemerintah.

PEMBANGUN KONDISI KEBERSAMAAN / HARMONIS
            Manusia sejak lahir sudah hidup secara berkelompok mulai dari keluarga, rukun tetangga, dusun, kampung, desa, kelurahan, kabupaten, provinsi, bangsa dan negara. Dengan kata lain manusia, secara alamiah disebut makhluk ganda, memiliki sifat individu dan sekaligus memiliki rasa solidaritas ciri utama dari makhluk sosial. Kedudukan tanah juga diwarnai oleh sifat manusia, yaitu sebagai benda ekonomi yang harus dibatasi dengan patok batas permanen dan sama- sama diakui oleh tetangga yang bersebelahan, juga sebagai aset sosial (hak atas tanah berfungsi sosial sebagaimana Pasal 6 UUPA) yang mana pemiliknya tidak patut bersikukuh terhadap tanahnya bila penduduk sekitarnya membutuhkannya (kepentingan orang banyak memerlukannya), bahkan untuk kepentingan umum hak atas tanah bisa dicabut (Pasal 18 UUPA).
             
            Fungsi sosial hak atas tanah pembangun azas kebersamaan yang ingin diwujudkan oleh UUPA misalnya seorang yang hanya mampu mengolah tanahnya dengan produksi lebih rendah karena sambilan, sebaiknya merelakan tanahnya dikerjakan orang lain yang lebih mampun memberi hasil lebih tinggi (Pasal 6 Jo Pasal 10 UUPA). Karena hasil yang lebih tinggi berguna bagi kesejahteraab orang lebih banyak.
            
             Terhadap tanah pertanian, yang dilarang apabila yang memiliki bukan petani (Pasal 10), kecuali PNS untuk persiapan masa pendiun dengan luasan terbatas. Larangan diberlakukan juga bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan letak tanah yang disebut pemilikan secara absente (kecuali kecamatan berbatasan). Jadi tanah pertanian hanya boleh dimiliki oleh petani dan / atau tidak absente.
             
           Pengaturan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah sebagaimana yang disebut dengan rencana tata guna tanah juga berfungsi sebagai pembangun azas kebersamaan karena sifatnya berjenjang yaitu rencana tata guna tanah skala nasional memayungi rencana tata guna tanah skala provinsi selanjutnya menjadi payung atau pedoman bagi rencana tata guna tanah tingkat Kabupaten / Kota.  Mekanisme pengendaliannya melalui pengesahan peraturan daerah oleh pemerintah yang lebih tinggi sebelum dinyatakan sah sebagai acuan pembangunan (Pasal 14 UUPA).
           
         Kebersamaan juga dibangun melalui peniadaan ketimpangan dalam pemilikan tanah pertanian sehingga memiliki tanah melampaui luas maksimum yang diperkenankan dalam suatu kabupaten (yang biasanya ditetapkan berdasarkan kepadatan penduduk) dilarang (Pasal 7 UUPA).
    
           Kebersamaan juga dibangun melalui larangan adanya praktik monopoli swasta dalam lapangan agraria (Pasal 13) kecuali diselenggarakan dengan Undang – undang. Kerjasama yang mengandung unsur pemerasan atau penindasan dilarang antara pemilik dan penggarap atau pihak yang ekonomis kuat atas yang ekomonis lemah. Usaha bersama di lapangan agraria lebih disarankan dengan bentuk kooperasi (Pasal 10,11 dan 12 UUPA).

PEMBANGUN SISTEM KEMASYARAKATAN NON DISKRIMINASI
            Dalam hal pewarisan adat dan agama terdapat perbedaan antara wanita dan pria  dalam memperoleh porsi warisan. UUPA tidak membedakan antara wanita dan pria dan juga tidak membedakan suku bangsa dan agama. Hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan penuh dengan tanah dan wanita maupun pria memiliki kesempatan yang sama (Pasal 9 UUPA).

PENGAMAN KEPASTIAN KEPENTINGAN PRIBADI
            Pengaturan dan penyelenggaraan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah mengutamakan kepentingan kelompok bukan berarti kepentingan pribadi tidak diakui. Hak atas tanah lahir dibawah naungan kepentingan umum adalah sejalan dengan konsepsi evolusi alam semesta yaitu suatu konsepsi/kaidah dimana kepentingan individu selalu mempertimbangkan keunggulan kepentingan bersama / umum. Hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 4 yang terdiri dari : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut dahulu yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana Pasal 16 UUPA adalah wewenang yang diberikan kepada pemegang hak untuk menggunakan tanah dalam arti ruang yaitu permukaan bumi di atas dan di bawahnya, sebatas yang diperlukan bagi operasional penggunaan dan pemanfaatan tanah yang dikuasainya sesuai dengan batasan – batasan yang ada menurut rencana tata guna tanah (Pasal 2 Jo Pasal 14 UUPA).

ASET TIDAK BERGERAK BERSIFAT UNIK YANG SISTEM ADMINISTRASINYA BUKAN LAYANAN PUBLIK BIASA.
Supaya hal tersebut memiliki kepastian hukum baik kepastian kewenangan / hak maupun kewajiban potensial yang menyertainya demi kepentingan kelompok yang lebih luas / umum (Pasal 14 dan 18 UUPA Jo PP 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah) maka hubungan hukum dan perbuatan hukum atas tanah harus didaftarkan secara tertulis baik posisinya, subyek yang menguasai atau yang berhak, maupun jenis penggunaan tanah yang diijinkan termasuk kewajiban / batasan-batasan yang dikenakannya serta perbuatan hukum yang dialami oleh tanah tersebut (Pasal 19 UUPA Jo PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).

Salinan dokumen pendaftarannya tersebut dipegang oleh yang bersangkutan yang disebut sertipikat tanah yang merefleksikan hal yang sama dengan arsip hidup yang ada di Kantor Pertanahan (buku/Warkah Tanah). Arsip hidup sama dengan arsip yang tidak akan/pernah dimusnahkan seperti arsip lainnya artinya selalu dipelihara baik perubahan subyeknya, perubahan jenis haknya maupun perubahan pengenaan kewajiban penatagunaan tanahnya.

Oleh karena sertipikat sebagai dokumen tertulis tentang tanah dengan muatan multi makna, meliputi :
  • Permukaan bumi dan ruang
  • Sesuatu yang magis
  • Sumber daya ekonomi
  • Perekat NKRI
  • Penstimulasi kondisi kebersamaan / harmonis
  • Pembangun sistem kemasyarakatan non diskriminasi
  • Pengaman kepastian kepentingan pribadi
  • Aset tidak bergerak bersifat unik yang sistem administrasinya bukan tata usaha layanan publik biasa.

Tanah adalah benda tidak bergerak menopang multi aspek, karena jumlahnya terbatas, memiliki nilai ekonomis semakin tinggi bila kepadatan penduduknya semakin tinggi pula. Sebidang tanah tidak bisa mensubstitusi / menggantikan bidang tanah yang lain karena baik letak, sifat maupun daya dukunya bersifat unik.

Karena bersifat unik serta memikul makna multi aspek, maka sistem pengadministrasiannya bukan seperti administrasi aset pada umumnya. Pelayanan penerbitan sertipikat tanah merupakan satu paket kegiatan yang mulai sejak (1) Penataan,  (2) Pemberian / penerbitan Surat Keputusan hak atas tanah, (3) Pendaftaran hak atas tanah, hingga (4) Pengendalian bidang tanah.

Maka pelayanan sertipikat tidak tepat diklasifikasikan sebagai produksi layanan umum masyarakat semata, bahkan sertipikat lebih berperan sebagai alat pengendali bagi Pemerintah dan Masyaraat agar hubungan hukum dan perbuatan hukum antara subyek (pemilik atau yang menguasai) dan obyek (sebidang tanah) selalu dalam koridor perwujudan masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Azas keadilan dan pemerataan diperhitungkan bagi seluth rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dalam wadah NKRI. Maka sudah sewajarnya Pulau Jawa sebagai penyangga pangan nasional tidak dengan mudahnya melakukan konversi sawah lestari, masyarakat yang berdomisili dan hidup di daerah hulu yang berfungsi sebagai penyangga air permukaan maupun air bawah tanah serta pengendali sedimentasi, sudah sewajarnya mengekang kepentingan ego ekonomisnya menanam tanaman semusim misalnya kentang/tembakau yang memiliki nilai ekonomi dengan mengabaikan pelestarian lingkungan hidup atau membiarkan tetangga di bawahnya keseringan menderita kebanjiran atau kekeringan.

Azas keadilan dan sebesar-besar kemakmuran rakyat NKRI merupakan sifat Nsional dari manajemen pertanahan, maka database bidang tanah harus dikelola melalui sistem jaringan online se Indonesia / terpusat seiring dengan sistem kependudukan (misalnya nama di KTP yang bersifat nasional sama dengan nama di sertipikat tanah, yang diunikan oleh tanggal lahir dan nama Ibu Kandung). Demikian langkanya tanah tersebut karena tidak akan pernah bertambah luas permukaan bumi itu, maka penguasaan tanah milik pribadi mutlak dibatasi luasannya. Dengan terpusat maka ketentuan batas maksimum pemilikan tanah dapat diterapkan.

Pemahaman masyarakat umum yang telah berkembang saat ini telah menyimpang dari UUPA. Penyelenggaraab pendaftaran tanah yang mendasarkan PP 10 Tahun 1961, saat ini telah dicabut diganti dengan PP 24 tahun 1997, yang menurut UUPA adalah kewajiban pemerintah. Penerbitan sertipikat telah menjadi layanan publik semata-mata, bahkan Pemerintah mencari uang dalam menerbitkan sertipikat tanah (karena terbatasnya anggaran negara atau karena belum menyadari pentingnya kedudukan manajemen pertanahan bagi kemajuan bangsa), dan karena mencari uang maka banyak pihak berpersepsi dapat diotonomikan sebagai sumber penghasilan Pemerintan Daerah.

Mekanisme penerbitan sertipikat tanah dimulai dari : pertama, identifikasi rekomendasi / persyaratan penataan dan pengaturan pertanahan, dilanjutkan, kedua, dengan proses pemberian dan penetapan jenis hak dan ketiga, dilanjutkan dengan penduplikasian kegiatan pertama dan kedua, yang disebut “sertipikat tanah” yang dipegang oleh yang bersangkutan, sedangkan buku tanah / warkah adalah arsip hidup disimpan di kantor pertanahan, keempat, diakhiri dengan pengendalian bidang tanah guna memenuhi persyaratan penataan pertanahan.

Oleh karena sertipikat berproses mulai dari kegiatan kesatu, kedua, ketiga dan keempat merupakan satu rangkaian kegiatan utuh dari manajemen pertanahan maka, pensertipikatan tanah bukan layanan publik seperti yang umum dikenal seperti layanan Surat Ijin Mengemudi, STNK, KTP dll.

Sertipikasi tanah adalah produk final dari manajemen pertanahan yang berfungsi sebagai alat bukti pemilikan sekaligus sebagai sarana pengendali bidang tanah menuju tanah untuk kemakmuran dan keadilan serta menjamin kelangsungan pembangunan berkelanjutan bagi seluruh rakyat NKRI. Oleh karenanya maka penerbitan sertipikat tanah hanya dapat dikelola dalam satu sistem terpusat.

Catatan :
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dari perenungan selama mengabdi 33 tahun sebagai PNS Agraria /Pertanahan, semoga berguna untuk pencerahan semua orang yang masih berhubungan dengan tanah di NKRI

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

MPBM Jawa Tengah Sejalan Dengan PNPM


Otonomisasi Pemerintahan (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) dan perangsangan Penanaman Modal (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal) telah dengan sengaja berusaha memudarkan sifat ke Nasionalan dan Kerakyatan dari urusan pertanahan berdasarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). Penyebab timbulnya upaya pemudaran ini lebih besar bersumber dari tekanan ekternal ketimbang internal pengelola urusan pertanahan. Bangsa Indonesia secara bertubi-tubi mendapatkan cobaan dan rongrongan agar NKRI terpecah belah. Hal ini berdampak pada penanganan urusan pertanahan yang hingga kini mendapatkan perhatian sebelah mata sebagaimana adanya ketidakseimbangan bangunan kelembagaannya terhadap tanggung jawab yang dibebankannya.

Pembangunan kelembagaan pertanahan sejak Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 mengalami pasang surut. Fusi antara yang menangani hak (hukum), pendaftaran tanah (kadastral), penggunaan tanah (land use) dan penguasaan tanah (landreform) dalam satu atap Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negeri adalah upaya menyatukan agar dapat dikelola secara utuh penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) secara terintergrasi. Pengelola P4T kemudian dirasakan tidak mampu mewujudkan tanggung jawabnya jika administrasi pertanahan berada di bawah administrasi pemerintahan dalam negeri oleh karena terdapat kekhususan tanggung jawab yaitu menyangkut kontribusi administrasi pertanahan (P4T) terhadap kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat NKRI pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Dengan pengalaman tersebut Pemerintah membentuk Badan Pertanahan Nasional yang berasal dari Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negeri. Setelah berbentuk BPN dan saat ini disebut BPN RI adalah lembaga yang mengelola administrasi pertanahan seluruh wilayah NKRI. BPN RI memiliki Kantor Wilayah BPN di tingkat Provinsi dan Kantor Pertanahan di tingkat Kabupaten/Kota adalah perangkat pemerintah pusat yang ada di daerah. Kewenangan pemberian hak atas tanah dan pendaftarannya sudah didesentralisir kepada Kantor Pertanahan bukan ke Pemerinatah Daerah. Sedangkan sebagian dari urusan pertanahan meliputi sembilan kegiatan telah didesentralisir kepada Pemerintah Daerah sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
  
Setelah ada pelimpahan 9 kegiatan tersebut kepada Daerah dan semakin luas kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah, timbul pertananyaan apakah 9 kegiatan urusan pertanahan tersebut sudah ada pemerintah daerah yang dapat melakukannya sesuai dengan tuntutan masyarakat. Pada kenyataannya terdapat keraguan dalam melaksanakan 9 kegiatan tersebut. Salah satunya adalah rencana penggunaan tanah berupa jenis kegiatan apa yang boleh ada di atas sebidang tanah yang paling efektif, baik secara ekonomis maupun pelestarian lingkungan hidup untuk mewujudkan kemakmuran dari tanah, diukur melalui produktivitas atau melalui nilai ekonomi kawasan. Dengan kata lain daun jatuh di atas setiap bidang tanah dapat dipastikan memberikan kemakmuran, tetapi juga tidak merusak lingkungan hidup bagi pemilik maupun masyarakat.

Dengan tanggung jawab memastikan daun jatuh di atas sebidang tanah setiap saat, maka tanpa didukung partisipasi penuh masyarakat dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan tanggung jawab pusat maupun daerah, lembaga pertanahan yang ada pada tingkatan kabupaten/kota tidak akan mampu memikulnya.
 
Sistem Informasi Pertanahan Nasional (SIMTANAS) yang berguna bagi daerah untuk menyusun rencana penggunaan tanah belum lagi terbangun. Tidak tertibnya sistem penatausahaan surat keterangan tanah dari desa yang menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pemberian hak dan pendaftarannya, serta belum terbangunnya kesadaran masyarakat atas kewajiban yang harus dipenuhi apabila menguasai dan menggunakan tanah menjadikan kelembagaan pertanahan belum efektif dalam mengemban tanggung jawab. Kemampuan Pemerintah membangun pendaftaran bidang tanah dengan hasil 30% selama kurun waktu 47 tahun, berarti diperlukan ratusan tahun untuk membangun SIMTANAS.

Sumber utama lambatnya proses pelayanan pertanahan mendukung penananaman modal termasuk pendaftaran tanah adalah sebagian besar disebabkan karena data base bidang tanah belum terbangun di seluruh Indonesia. Pembangunan data base bidang tanah memerlukan biaya yang sangat besar. Selain masalah data base, hal yang paling mendasar adalah dapat dipastikannya setiap pemilik atau yang menguasai bidang tanah dapat menggunakan tanah dan menjamin memberikan nilai tambah yang signifikan berkontribusi kepada kemakmuran dan pelestarian lingkungan. Sasaran demikian tanpa partisipasi masyarakat mustahil dapat dilaksanakan.

Oleh karena itu maka sudah saatnya  Bangsa Indonesia melihat kembali hasil pengembangan pasal 33 ayat 3 dan Pasal 18 UUD 1945 yang mendasari penyelenggaraan manajemen pertanahan nasional dan manajemen pemerintahan dalam negeri. Perlu dipertanyakan kontribusi penanganan manajemen pertanahan terhadap pengentasan kemiskikan.

Jawa Tengah telah mulai langkah besar dengan membangun manajemen pertanahan berbasis masyarakat (MPBM) melalui gotong royong dan pemberdayaan masyarakat agar dalam kurun waktu 5-10 tahun dapat dibangun di 8.553 desa. Dengan menggunakan pendekatan gotong royong dan partisipasi masyarakat serta koordinasi instansi terkait dan lembaga swadaya masyarakat maka hal ini sejalan dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), sebagaimana pidato Bapak Presiden dan masyarakat Jawa Tengah telah terlebih dahulu mencoba dan mengembangkan konsepsi serta membiayai pembangunannya.

Bambang S. Widjanarko,
Mantan Kakanwil BPN Jawa Tengah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

MPBM Jateng Mengejar Ketertinggalan membangun Kemandirian Bangsa


UU Nomor 5 Tahun 1960 bertujuan untuk mengelola sumber-sumber agraria meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkeadilan. UU ini bertujuan melakukan koreksi total eksploitasi sumber-sumber agraria  yang dilakukan oleh pemerintah jajahan dari ”untuk penjajah menjadi untuk rakyat”. Lima belas tahun sejak terlepas dari cengkraman penjajah, Bangsa Indonesia (para pendiri NKRI) baru mampu menyusun kebijakan nasional tentang penataan dan pengaturan hubungan hukum antara Bangsa Indonesia dengan sumber-sumber agraria serta penataan dan pengaturan penggunaan dan pemanfaatannya.

Empat puluh delapan tahun berjalan terhitung ditetapkannya UUPA, hasil eksploitasi sumber-sumber agraria belum berhasil memberikan kemakmuran yang proporsional ketimbang tingkat kerusakan yang ditimbulkannya. Pembangunan kesadaran masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam manajemen pertanahan belum tergarap secara maksimal. Sehingga program dan proyek yang mengalir dari atas (top-down) larut seperti hilang terserap tanah berpasir dengan nilai tambah yang tidak sebanding dengan pengorbanan  dana yang telah dibelanjakan. Derasnya aliran top-down menyebabkan kreatifitas dan kemandirian orang-perorang sebagai pemegang hak atas sumber-sumber agraria tidak tergali dan tidak berkontribusi dalam membangun efek ganda. Dampaknya kemajuan dalam meraih peningkatan kesejahteraan berjalan sangat lambat, kemajuan perekonomian secara keseluruhan tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang tadinya berada dibelakang kita.

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang dicanangkan Presiden merupakan langkah tepat untuk melakukan percepatan pertumbuhan perekonomian nasional, menuju kemakmuran masyarakat yang sudah tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Agar PNPM dapat efektif pada sasarannya, pendekatan top-down diupayakan hanya bersifat fasilitator motivator, bukan pembiaya utama.  

Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM) yang telah diujicobakan di Jawa Tengah di 35 desa/kelurahan merupakan model pemberdayaan masyarakat, sehingga kreatifitas masyarakat dalam menggunakan dan memanfaatkan tanah memberikan nilai tambah yang mampu menumbuhkan perekonomian dari bawah (bottom-up) dan berbasis masyarakat. Masyarakat yang mengumpulkan, mengolah, menyajikan dan pembaruan (up dating) data.  Biaya pembaruan data tersebut diperoleh dari hasil layanan data untuk perubahan obyek PBB, pensertipikatan tanah, pengadaan tanah untuk pembangunan, penataan ruang dan penatagunaan tanah serta lain layanan data yang berbasis bidang tanah. Operasi dan kemampuan layanan data modern dilatihkan kepada aparat atau tim yang ditugaskan mengelola MPBM. Tim dilatih mengembangkan diri sebagai penggerak dan motivator agar tanah yang ada di desanya digunakan secara produktif dan taat pada penataan ruang/kaidah pelestarian lingkungan hidup. 

Oleh karena MPBM bersifat self finance dan multiguna maka dapat berkontribusi langsung pada penyelenggaraan pemerintahan yang lebih efektif meliputi tata ruang, tata guna tanah, tata bangunan, pelestarian lingkungan hidup, ketahanan pangan, pengadaan tanah, pencegahan timbulnya sengketa dan konflik pertanahan, pengelolaan aset negara dan pemerintah; dengan demikian kemandirian bangsa dapat dibangun dan  percepatan mengejar ketertinggalan dapat dilakukan.

Dalam rangka menyongsong 100 tahun kebangkitan nasional, membangun kemandirian bangsa sudah saatnya dilaksanakan secara serempak dalam gerakan rakyat dimulai dari desa. Dengan gerakan rakyat serempak, maka berapapun jumlah desa akan dapat terselesaikan dalam waktu cepat karena masing-masing desa secara serempak membangun dan mengoperasionalkan MPBM. MPBM melakukan modernisasi pemerintahan desa , merangsang kreatifitas, menghilangkan budaya nyadong yang diakibatkan pendekatan top down.

MPBM sejalan dengan PNPM maka sebaiknya MPBM dibangun di setiap desa di seluruh Indonesia dalam kurun waktu 5 – 10 tahun sesuai dengan jumlah desanya.


Bambang S. Widjanarko,
Mantan Kakanwil BPN Jawa Tengah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Amankan Aset Bangsa dan Negara Lewat MPBM

oleh Bambang S. Widjanarko *)


Aset Negara perlu segera diinventarisir agar dapat dicegah adanya tindakan korupsi sebagaimana dinyatakan Kompas, Rabu 7 Mei 2008 oleh Sekretaris Jendral Departemen Keuangan didampingi Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan bersama sejumlah sekjen, irjen instansi pemerintah membahas penertiban aset negara. Jawa Pos Rabu 7 Mei 2008 Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan mengungkapkan bahwa sertipikat ganda menggerogoti aset negara dan ketidakjelasan status tanah berpengaruh terhadap investasi.

Sebagai pegawai yang telah mengabdi cukup lama di BPN tidak kaget mendengar kedua pernyataan di atas. Hampir semua instansi pemerintah hingga pemerintah desa belum tergerak untuk mendaftarkan asetnya. Kalaupun tergerak masih bersifat sporadis dan keproyekan, berarti belum secara sistematis dalam kerangka manajemen aset. Keterbatasan dana selalu menjadi alasan belum didaftarkannya seluruh bidang tanah.

Pensertipikatan tanah untuk memperjelas status kepemilikan sebidang tanah menurut UU No. 5 Tahun 1960 merupakan langkah yang tepat untuk menata aset negara dan sesungguhnya pendaftaran tanah diseluruh NKRI adalah kewajiban Pemerintah.  Oleh karena keterbatasan keuangan negara maka hasil pendaftaran tanah tidak seperti yang diharapkan karena hingga saat ini diperkirakan 70-80 % bidang tanah belum bersertipikat.

Sistem pensertipikatan tanah yang saat ini berlangsung belum dapat mencegah sertipikat ganda. Ada sebidang tanah dilandasi oleh dua akte hibah pelepasan adat oleh dua marga/kelompok adat, memiliki dua sertipikat dan kebetulan sertipikat yang satu adalah tanah aset negara/pemerintah daerah. Marga tidak mengetahui batas wilayah ulayat yang jelas. Subyek yang mengatasnamakan marga juga tidak jelas. Sebidang tanah memperoleh surat keterangan penguasaan tanah dua kali oleh kepala desa, sehingga terbit sertipikat dobel. Dobelnya surat keterangan adat atau kepala desa ini karena tidak tertibnya administrasi penguasaan tanah yang dibukukan di desa. Catatan di desa yang tidak tertib berpotensi menimbulkan sertipikat dobel. Reorganisasi instansi pemerintah menyebabkan dokumen pemilikan dan penguasaan aset banyak yang hilang bahkan instansi pemerintah tidak mengetahui secara tepat aset yang tersebar di desa-desa. Masyarakat setempat mengetahui sebidang tanah milik instansi pemerintah, tetapi instansi tersebut tidak memiliki dokumen. Masyarakat desa juga mengetahui sudah berapa bidang tanah bengkok desa yang disertipikatkan atas nama pribadi

Karena keterbatasan pemerintah dalam menyediakan anggaran untuk memetakan seluruh bidang tanah sebagai landasan melakukan pendaftaran tanah sistematis, sebagai konsekwensinya maka  dilakukan pendaftaran tanah secara sporadis, demi memenuhi tuntutan pelayanan masyarakat.  Sertipikat yang diterbitkan secara sporadis (sebagian dari 20-30% yang sudah bersertipikat) berpotensi  memiliki sertipikat ganda, sekalipun jumlahnya tidak banyak akan membuat penyelenggaraan pemerintahan tidak efektif, karena disibukkan oleh persengketaan dan konflik pertanahan.  

Tanah yang sudah bersertipikat yang disebut Aset Negara karena negara telah melakukan inventarisasi melalui penetapan hak berdasarkan UU Nomor 5 tahun 1960, sedangkan Aset Bangsa meliputi Aset Negara dan tanah yang  belum bersertipikat atau tidak perlu diberi sertipikat karena tidak ada yang menguasai selain negara seperti pulau-pulau terluar NKRI memerlukan sistem terpadu dalam penatausahaannya. Subyek hak baik seseorang WNI atau WNA maupun Badan Hukum privat atau publik dan jenis hak yang dibukukan  melalui manajemen pertanahan harus terkoneksi dengan administrasi kependudukan sehingga sertipikat dobel dapat dihindari.   

Dengan kondisi abu-abu data tanah yang ada di tingkat desa saat ini maka penertiban aset Bangsa dan aset Negara sebaiknya dilakukan secara sistematis dan menyeluruh pada akar persoalan pertanahan yaitu mulai dari desa. Sebagai pegawai pertanahan yang puluhan tahun telah mengabdi di BPN kami merasa terpanggil untuk mengajukan terobosan yang sistematis yaitu melalui Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM) berbagai kepentingan pemerintah meliputi manajemen aset, manajemen pertanahan, manajemen tata ruang, tata guna tanah, tata bangunan, dan manajemen alokasi tanah untuk pembangunan fisik atas konversi penggunaan tanah dapat diselenggarakan secara serempak karena dilaksanakan oleh masing-masing desa/kelurahan. Pemerintah hanya memberi bimbingan teknis dan administratif.

Uji coba MPBM di Jawa Tengah telah memberikan gambaran bahwa MPBM mampu dibangun oleh masyarakat desa. Tim Sembilan yang dipilih secara musyawarah di tingkat desa bertugas mewakili masyarakat sebagai pengelola MPBM, sekaligus penggerak masyarakat dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah, yang dapat memberikan peningkatan nilai tambah. MPBM yang dikembangkan adalah ”self finance” dan multi guna serta pembangunan awalnya secara gotong royong sangat menghemat keuangan negara dan dapat terselesaikan 5-10 tahun di seluruh Indonesia.

Mafia tanah yang subur tumbuh karena kondisi abu-abu data tanah yang ada saat ini dan dapat dieliminir melalui MPBM. Sertipikat dobel dapat dihindari karena surat keterangan tanah kepala desa dilampiri peta bidang tanah  yang dibuat oleh masyarakat. Pemeliharaan data atas bidang tanah baik subyek maupun obyek dapat terlaksana secara tertib, karena segera setelah kejadian berlangsung dapat dicatat pada buku buku MPBM.  Buku aset dapat dengan mudah dikembangkan melalui MPBM di setiap desa dan dapat dikoneksikan dengan file aset yang dipusatkan di kabupaten/kota karena setiap bidang tanah terkorelasi dengan siapa penguasa atau pemilik tanah tersebut. Data MPBM sebelum diberlakukan sebagai landasan dalam pemberian surat keterangan tanah diverifikasi oleh Kantor Pertanahan, dimutahirkan setiap akhir tahun atau dievaluasi setiap terjadi penggantian kepala desa/lurah, supaya jumlah bidang tanah baik bersertipikat maupun belum atau dalam berbagai atribut seperti penguasaan instansi/lembaga pemerintah selalu sama antara yang ada di MPBM dengan yang ada di Kantor Pertanahan setiap saat.

Membangun MPBM seluruh Indonesia perlu ada koordinasi dan kerjasama DEPDAGRI dan BPN RI. Pelaksanaan Peraturan Menteri Negera Agraria/KaBPN Nomor 5 tahun 1999 tentang inventarisasi tanah adat perlu didukung MOU antara Mendagri dan Ka BPN agar dapat terlaksana.

Rekruitmen Tim Sembilan MPBM melalui rembug/musyawarah desa sebagai upaya pendewasaan demokratisasi, penyadaran dan pemberdayaan melalui Tim Sembilan sebagai kelompok penggerak upaya membangun kemandirian dan martabat bangsa. MPBM mempercepat pembangunan Sistem Informasi Pertanahan Nasional (SIMTANAS) sehingga berbagai kebijakan pertanahan dapat ditetapkan setiap saat untuk mempercepat realisasi pasal 1 s/d 15 UUPA yaitu tanah untuk kesejahteraan dan keadilan, keutuhan NKRI, kehidupan harmonis Bhineka Tunggal Ika dapat diwujudkan dalam program 5-10 tahun. MPBM dapat mengefektifkan peran lembaga pertanahan dengan fungsi mengadministrasikan setiap kejadian dan perubahan menyangkut penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan atas sebidang tanah yang tidak mungkin dapat ditangani oleh lembaga yang hanya berpusat di kabupaten/kota. 

 *) Penggagas MPBM, mantan kakanwil BPN RI Prov. Jateng, mantan KAPUSLITBANG BPN,  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

MPBM Mutlak Bagi Memasuki Era Globalisasi


MANAJEMEN PERTANAHAN BERBASIS MASYARAKAT (MPBM)
 MENJADI LANGKAH AWAL MEMBANGUN
SISTEM INFORMASI MANAJEMEN PERTANAHAN NASIONAL (SIMTANAS) DALAM ERA GLOBALISASI

oleh : Bambang S. Widjanarko

Tuntutan Globalisasi

Tanah sebagai sumber agraria dikelola Negara sedemikian rupa untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkeadilan. Tanah adalah wadah bagi manusia melangsungkan hidup dan kehidupan. Oleh karena tanah sumber daya alam yang terbatas dan tidak dapat diperbarui maka tanah sarat akan potensi konflik. Oleh karena demikian maka sistem manajemen yang mengatur tanah memerlukan kelengkapan perangkat hukum sesuai dengan kondisi atau tuntutan masyarakat, pembuatan kebijakan yang mampu mengatur dan mengharmonisasi berbagai kegiatan penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk mencapai tujuan, dukungan personil dan kelembagaan yang mampu mengetahui potensi yang ada di setiap bidang tanah, mampu melakukan bimbingan, pengendalian dan pengawasan bagi setiap bidang tanah hingga semua fakta dan perubahan yang ada pada setiap bidang tanah dapat direkam, disajikan dalam sistem informasi pertanahan sehingga pembuatan kebijakan dapat dilakukan berdasarkan fakta yang ada.

Dalam pergaulan bangsa-bangsa global manajemen pertanahan dituntut kecepatan, keakuratan, dan kepastian dalam memberikan hasil penetapan pemberian atau perpanjangan hak, pendaftaran hak atas tanah. Kepastian meliputi prosedur, persyaratan dan pengenaan biaya pelayanan. Kecepatan dan keakuratan menuntut sistem eletronik dalam pertukaran dan jual beli pelayanan. E-government, E-payment dan E-commerce dalam membangun dan mengembangkan manajemen pertanahan sudah tidak dapat ditunda-tunda jika bangsa Indonesia tidak ingin ketinggalan terhadap bangsa-bangsa lain dalam mengikuti perubahan.

Sistem Tata Usaha Bidang Tanah

Cepat, tepat, akurat dan berkepastian akan waktu, biaya dan persyaratan merupakan ukuran kualitas pelayanan publik sebagaimana halnya juga sertipikat tanah. Sistem informasi sudah harus dijital baik data tektual maupun spasial. Negara yang sudah maju baik dengan stelsel positif ataupun negatif hanya memerlukan waktu tidak lebih dari 1 (satu) hari bahkan ada yang kurang dari 1 (satu) jam didalam memberikan pelayanan pertanahan dan dijamin tidak ada sengketa. Dan kalaupun ada sengketa, setelah keputusan pengadilan, tidak ada pihak yang dirugikan karena apabila ada pihak-pihak yang dirugikan oleh kekeliruan pemerintah di dalam menerbitkan sertipikat maka kerugian dikompensasi oleh premi asuransi. Sistem pelayanan pertanahan seperti ini kita sebut stelsel positif atau sistem Toren yang dikembangkan oleh Australia.

Sebaliknya apabila sengketa tanah siapa yang menang atau kalau sepenuhnya diserahkan kepada pengadilan dan pemerintah tidak memberi kompensasi apabila timbulnya sengketa karena ke kurang akuratan pemerintah di sebut stelsel negatif. Stelsel negatif tidak dikenakan asuransi sebagai kompensasi apabila timbul kerugian karena kekeliruan pemerintah. Belanda adalah negara yang menerapkan stelsel negatif.

Indonesia menerapkan stelsel negatif bertenden positif. Lembaga pengumuman bagi tanah yang tidak jelas alas haknya merupakan upaya memberikan kesempatan kepada pihak lain yang lebih berhak atas tanah tersebut melakukan sanggahan sehingga keputusan pemerintah atas hak atas seseorang dapat dicegah kerugian pihak lain. Pemerintah tidak memungut asuransi sebagai konpensasi apabila pemerintah kalah dalam sengketa administrasi.

Cepat, tepat, akurat dan berkepastian akan waktu, biaya dan persyaratan sebagai ukuran kinerja pelayanan publik telah dapat dibudayakan di negara-negara maju baik negara yang menganut stelsel positif maupun negatif. Hal ini karena ketersedian peta bidang tanah kadastral yang selalu mutahir dalam system informasi pertanahan yang terintergrasi dengan system informasi terkait telah dapat dikuasai oleh negara maju, terintergrasinya antara tata administrasi tanah, penduduk dan aktifitasnya, masyarakatnya sudah melek dan sadar akan peraturan perundangan yang berlaku, struktur masyarakat yang mendukung penerapan teknologi modern dan adaptif terhadap perubahan-perubahannya karena didukung kualitas sumber daya manusia yang memadai untuk menyerap perubahan teknologi, kelengkapan perangkat hukum pertanahan telah bersesuaian dengan kebutuhan dan tingkat kedewasaan masyarakatnya.

Kondisi Tata Usaha Bidang Tanah di Indonesia

Walaupun stelsel yang dianut Indonesia negatif bertenden positif berarti tidak sama persis meniru Australia (system Toren) dan juga tidak sama persis meniru Belanda. Dan juga tidak sama persis dalam hal kecepatan, keakuratan dan kepastian. Tingkat kecepatan, keakuratan dan kepastian belum siap untuk memasuki globalisasi yang telah menerapkan e-government, e-commerce dan e-payment.

Tata administrasi pertanahan dan penduduk yang berlangsung saat ini belum terintergrasi. Sehingga perubahan-perubahan yang berkaitan dengan kependudukan seperti jual beli, gadai, atau pewarisan belum mampu tertangkap secara cepat oleh tata administrasi pertanahan. Pendaftaran tanah balik nama atau agunan hanya untuk tanah yang sudah terdaftar, sementara sebagaian besar tanah yang belum terdaftar belum mampu tersentuh oleh mekanisme yang berlaku saat ini.

Jebakan ketergantungan teknologi terhadap negara maju yang semakin tidak terbeli bagi pembangunan peta bidang tanah secara menyeluruh baik bagi tanah yang sudah terdaftar maupun belum, sekalipun tiap tahun anggaran selalu dinaikkan. Kondisi demikian akan memperbesar ketergantungan dimasa mendatang karena teknologi berubah demikian cepat sedangkan perubahan bidang tanah meliputi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah juga berubah demikian cepat sehingga periode pemutahiran menjadi semakin singkat, semakin besar anggaran yang dibutuhkan dalam pemeliharaannya, dan sudah dapat dikalkulasi semakin ketinggalan terhadap perubahan data dan teknologi pemetaan.

Sejak program tata usaha pencatatan bidang tanah berkaitan dengan pemilikan tanah yang dimulai sejak 1961, terbayang dalam dua puluh tahun kedepan semua bidang tanah dapat dipetakan. Ternyata hingga saat ini tanah yang sudah tercatat periode 1961 s/d 1985 belum berdasarkan peta bidang tanah yang akurat. Sementara yang telah terdaftar periode 1985 s/d 1997 sudah mulai terkait dengan peta bidang tanah akan tetapi belum secara keseluruhan. Hanya pendaftaran bidang tanah yang mengikuti pola sistematis terkaitkan dengan peta bidang tanah, sedangkan pendaftaran sporadis tidak terkait dengan peta bidang tanah. Bagian ini merupakan sumber masalah dikemudian hari pada saat terjadinya sengketa dimana rekonstruksi tidak dapat dilakukan secara akurat.
Kualitas pendaftaran tanah ditentukan oleh kualitas dari peta bidang tanah karena posisi relatif bidang tanah merupakan petunjuk utama dalam memposisikan batas batas tanah hasil rekaman pengukuran bidang tanah yang bersangkutan.

Saat pendaftaran tanah berlangsung dan perubahan yang terjadi dilapang setelah pendaftaran tidak selalu diikuti pemutahiran data karena beberapa hal antara lain ketidak tahuan prosedur, pelayanan yang tidak terjangkau oleh sebagian masyarakat baik jarak maupun biaya serta karena ketidakpastian, sehingga peta-peta yang dulu pernah dibuat tidak termutahirkan secara kontinyu, dan akibatnya tidak lagi dapat digunakan untuk memetakan pendaftaran sporadik.        


Peta bidang tanah yang komprehensif meliputi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) dalam system informasi pertanahan belum terbangun di Indonesia. Masyarakat belum mengetahui peraturan perundangan pertanahan berarti kesadaran masyarakat belum terbina. Budaya tunai dalam perbuatan hukum atas tanah belum bersesuaikan dengan penyelenggaraan tata adminisitrasi  bidang tanah. Sebagian tanah yang diuangkan karena kebutuhan ekonomi sudah berarti penyerahan hak walaupun belum tertuang dalam akte. Kejadian demikian tidak mampu terditeksi sekalipun pemetaannya menggunakan teknologi citra. Dengan demikian maka partisipasi masyarakat dalam pembangunan data bidang tanah merupakan keharusan berdampingan dengan pemanfaatan teknologi modern.

Partisipasi masyarakat dalam mengelola data bidang tanah belum pernah tersentuh kecuali hanya sebagai obyek program-program top-down yang saat ini dirasakan menjadikan kepasifan masyarakat. Kepasifan masyarakat dalam ikut serta mengelola data bidang tanah merupakan salah satu penyebab tidak dapat terbangunan peta bidang tanah secara cepat. Percepatan pemetaan bidang tanah tidak cukup hanya dikejar dengan penggunaan teknologi modern. Subyek, migrasi penduduk dan budaya jual beli tunai yang dianut masyarakat pada umumnya tidak dapat dipetakan menggunakan teknologi modern.

Sebagai bangsa yang masih terbatas kemampuannya membeli teknologi modern yang sulit terkejar perubahannya, sudah saatnya melakukan trobosan untuk percepatan mengejar ketertinggalan dalam pembangunan sistem informasi pertanahan nasional (SIMTANAS) sebagaimana yang diamanatkan TAP MPR Nomor IX Tahun 2001. Terobosan yang saat ini sudah saatnya adalah partisipasi masyarakat dalam manajemen pertanahan yang pembangunannya dilakukan dalam unit desa/kelurahan.

MPBM menyambut 100 tahun Kebangkitan Nasional

Hampir semua negara yang telah maju baru membuka diri setelah kuat kemandirian atau ketergantungan pada bangsa lain relatif tidak kecil. Melihat kemajuan bangsa lain, teringat gemblengan Bapak Bangsa, Bung Karno, meminta segera mewujudkan BERDIKARI, berdiri di atas kaki sendiri, jika tidak ingin terjajah oleh imprialisme modern.

Kondisi Bangsa Indonesia justru saat ini terseret kedalam kancah globalisasi dalam kondisi kemnadirian bangsa belum terwujud. Program-program top down akan meresap sangat cepat kebawah bagaikan air hujan melalui tanah pasir hilang tanpa bekas tanpa berkontribusi dalam mengejar ketertinggalan kemajuan bangsa-bangsa negara maju.

Revolusi cara berpikir dan budaya penyelenggaraan pemerintahan sudah harus dilakukan dalam permainan mengarungi pergaulan globalisasi. Bangsa Indonesia harus menyadari kekeliruan yang selama ini telah berlangsung dalam mengejar ketertinggalan hanya melihat dari mengejar perubahan teknologi dan kurang mempertimbangkan partisipasi masyarakat.

Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM) yang telah diujicobakan di Jawa Tengah di 35 desa/kelurahan yaitu setiap kabupaten/kota satu desa/kelurahan merupakan terobosan membangun dan mengembangkan pertisipasi masyarakat dengan pendekatan gotong royong sebagaimana budaya bangsa mengatasi kekurangan kemampuan dalam pendanaan.

Keserempakan dalam pembangunan data bidang tanah seluruh desa secara gotong royong dapat mempercepat pengejaran ketertinggalan dalam membangun sistem informasi pertanahan. Sebagaimana konsepsi administrasi pertanahan modern, sistem informasi pertanahan merupakan salah satu pilar yang harus paralel dengan pilar susunan kelembagaan dan kemampuan pembuatan kebijakan untuk mampu menyesuaikan terhadap perubahan perubahan yang terjadi dalam kehidupan globalisasi dengan tetap pada pencapaian sukses pembangunan sosial ekonomi yang berkelanjutan.

Kelembagaan pertanahan yang saat ini ada masih kurang mampu menjangkau hingga bidang tanah karena hanya sampai tingkat kabupaten/kota. Sistem informasi pertanahan belum mungkin terbangun dalam 25-50 tahun mendatang jika tetap pada pendekatan program top-down karena data bidang tanah sebagian besar belum terdaftar di kantor pertanahan.

Oleh karena itu bangsa Indonesia harus bangkit pada kebangkitan nasional yang berusia     100 tahun melalui gerakan rakyat dan seluruh komponen bangsa serempak membangun MPBM melalui kerjasama DEPDAGRI dan BPN RI dibawah koordinasi Peraturan Presiden dalam 5-10 tahun kedepan. Sebagaimana uji coba di Jawa Tengah yang digagas oleh Bambang S. Widjanarko, Kakanwil BPN Jawa Tengah periode medio 2004 – awal 2008 dan penduplikasiaannya didukung oleh Gubernur Jawa Tengah melalui tiga surat edaran sehingga kabupaten Pemalang, Purbalingga dan Sragen telah melakukan pembangunan MPBM secara serempak seluruh desa-desa di wilayahnya secara bertahap menggunakan Alokasi Dana Desa (ADD) dengan meniru hasil uji coba. Hasil uji coba di Jawa Tengah tentu dapat juga ditiru atau diterapkan bagi desa-desa di seluruh Indonesia. MPBM pasti dapat diterapkan diseluruh Indonesia karena mempertimbangkan nilai-nilai lokal sesuai dengan konsepsi yang dianut MPBM yaitu penekanan basis masyarakat setempat.    

Apa dan Manfaat MPBM

MPBM pada prinsipnya adalah sebuah bentuk manajemen pertanahan berbasis masyarakat. Sesuai dengan model ini, pengelolaan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) ditekankan pada usaha untuk menggerakan partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan fungsi administrasi pertanahan tingkat desa/kelurahan dan sebagai partner Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan Pemerintah Kabupaten/Kota melalui pemberdayaan Pemerintahan Desa/Kelurahan dan seluruh masyarakatnya dalam mewujudkan tertib administrasi pertanahan, tertib hukum pertanahan, tertib penggunaan  dan pemeliharaan tanah, lingkungan hidup menuju makmur mandiri alam lestari dengan menggunakan pendekatan partisipasi masyarakat dan gotong royong dalam pembangunannya dan pemeliharaan serta operasionalnya.

Apabila MPBM telah terbangun maka sistem informasi pertanahan dapat dipercepat terbangun di seluruh Indonesia dan manajemen pertanahan nasional dapat terselenggara secara lebih efektif bahkan lebih efesien dibandingkan hanya mengandalkan pembelian teknologi modern tanpa partisipasi masyarakat. Mafia tanah dapat dieliminir karena data bidang tanah menjadi terbuka, tidak abu-abu lagi. Kesadaran masyarakat dapat dikembangkan menuju kemandirian. Ketergantungan pada program top-down diperkecil berarti budaya nyadong atau ketergantungan pada sinterklas dapat diobati. Perekonomian masyarakat dapat secara alamiah bergerak tanpa harus menunggu guyuran program dari atas. Potensi timbulnya sengketa tanah yang merepotkan penyelenggaraan pemerintahan dapat ditiadakan. Tertib manajemen aset negara dan bangsa dapat terselenggara. Rencana Tata Ruang dan Tata Guna Tanah dapat diimplementasikan secara lebih efektif dibandingkan dengan saat ini hanya sebagai dokumen penghias rak buku karena hasil penecanaan belum membumi.

Dengan demikian penyelenggaraan pemerintahan dalam negeri dalam mengemban tujuan pembangunan nasional yaitu sukses pembangunan sosial ekonomi secara bekelanjutan dapat terselenggara secara lebih efektif dan efesien.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Menajemen Pertanahan dan Susunan Kelembagaan Dalam Era Otonomi Daerah


Latar Belakang

Dalam perjalanan menjabarkan Pasal 33 (landasan Administrasi Pertanahan) dan Pasal 18 (landasan Administrasi Pemerintahan Dalam Negeri) UUD 1945 kedalam Undang-Undang telah terjadi proses pembelajaran yang cukup jelas adanya sinyal-sinyal yang dapat diikuti untuk dikembangkan, tetapi yang berkembang justru mengarah kepada penyimpangan dari apa yang dikonsepsionalkan berdasarkan UUD 1945.

Pembangunan dan pengembangan Administrasi Pemerintahan Dalam Negeri atas dasar Pasal 18 UUD 1945 telah mengalami proses pengembangan sebagaimana UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004. Sedangkan pembangunan dan pengembangan Administrasi Pertanahan berlandaskan Pasal 33 ayat (3) telah mengalami pengembangan sebagaimana Undang-Undang Pokok Agraria UU No. 5 Tahun 1960 dan UU cabang-cabangnya meliputi UU tentang Kehutanan, Pertambangan dan Pengairan, UU Penataan Ruang, UU pengelolaan sumber daya alam dan hayati.

Berbagai Undang-Undang telah ditetapkan yang sumbernya dari kedua pasal UUD 1945 tersebut. Berbagai sistem dan susunan kelembagaan ikut dikembangkan sebagai konsekwensi adanya perubahan dan pembaruan Undang-Undang.

Apakah kelembagaan pemerintah sudah cukup berhasil mengemban tanggung jawab sebagaimana yang digariskan pada pasal 18 dan 33 UUD 1945?. Pemahaman terhadap masalah ini kajian singkat beberapa program perlu dilakukan. Sebagaimana fakta yang berlangsung bahwa exploitasi sumber daya alam Indonesia telah berlangsung puluhan tahun, telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang cukup signifikan sementara jumlah relatif orang miskin belum berkurang secara signifikan,  sedangkan program-program konservasi dan rehabilitasi masih  menyisakan tanah-tanah yang harus dikonservasikan tetapi saat ini justru dibudidayakan cukup intensif (tanah tegalan dengan kemiringan curam sampai terjal), keadaan demikian menunjukkan masih belum tepatnya strategi di dalam mewujudkan tujuan atau sasaran pasal 33 ayat 3 UUD 1945, termasuk juga mencerminkan masih belum tepatnya di dalam menyusun kelembagaan yang berkaitan dengan tata administrasi pertanahan bersingkronisasi dengan tata administrasi pemerintahan dalam negeri.

Pembangunan kelembagaan pertanahan sejak Undang Nomor 5 Tahun 1960 mengalami pasang surut. Fusi antara yang menangani hak (hukum), pendaftaran tanah (kadastral), penggunaan tanah (land use) dan penguasaan tanah (landreform) dalam satu atap Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negeri adalah upaya menyatukan agar dapat dikelola secara utuh penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) secara terintergrasi. Pengelola P4T kemudian tidak mampu mewujudkan tanggung jawabnya jika administrasi pertanahan berada di bawah administrasi pemerintahan dalam negeri oleh karena terdapat kekususan tanggung jawab yaitu menyangkut kontribusi administrasi pertanahan (P4T) terhadap kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat NKRI pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Dengan pengalaman tersebut terbentuklah Badan Pertanahan Nasional yang berasal dari Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negeri. Setelah berbentuk BPN dan saat ini BPN RI, lembaga yang mengelola administrasi pertanahan seluruh wilayah NKRI. BPN RI memiliki Kanwil BPN di tingkat Provinsi dan Kantor Pertanahan di tingkat Kabupaten/Kota adalah perangkat pemerintah pusat yang ada di daerah. Kewenangan pemberian hak atas tanah dan pendaftarannya sudah didesentralisir kepada Kantor Pertanahan bukan ke Pemerinatah Daerah. Sedangkan sebagian dari urusan pertanahan meliputi sembilan kegiatan telah didesentralisir kepada Pemerintah Daerah sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Otonomi yang dikembangkan dari aspek pemerinatahan dalam negeri sebagaimana yang bersumber pada pasal 18 UUD 1945, mengisyaratkan agar Kantor Pertanahan dan Kanwil BPN menjadi perangkat daerah atau manajemen pertanahan di otonomikan. Hal ini dapat disimak conotoh di beberapa daerah telah membentuk Dinas Pertanahan. Pemerintahan Aceh (Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006, pasal 213, 214 dan 253) merupakan fakta bahwa dalam pengembangan kelembagaan pertanahan mengalami tarik menarik dan kurang dapat diperhatikan pesan UUD 1945 yo. UUPA secara utuh.


Masalah

Dengan demikian telah terjadi keraguan dan ketidak konsistenan dalam mengembangkan kelembagaan administrasi pertanahan di Indonesia.

Analisis Masalah

Kondisi yang ada saat ini bahwa pengembangan kelembagaan yang terkait dengan  pelayanan masyarakat, pengembangan kelembagaannya dapat menempuh azas desentralisasi (seperti IMB, KTP, SIM, STNK dll) maupun azas sentralisasi (perangko, meterai, sertipikat tanah, paspor dan akte nikah).

Masalah tanah berkaitan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya selalu menyangkut substansi multi aspek. Sangat berbeda dengan kempemilikan benda bergerak, yakni terkait dengan masalah kedaulatan Bangsa dan Negara, perwujudan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat, sehingga administrasi penguasaan dan pemilikan tanah lebih tepat ditangani pemerintah pusat dengan susunan kelembagaan hingga ke daerah menempuh azas `dekosentrasi.

Jika Pertanahan otonomi, orang Madura tidak boleh memiliki tanah di Kalimantan, orang Jawa tidak bisa memiliki tanah di Sumatera. Galian C luasan kurang dari 1 Ha dari sebuah pulau terluar NKRI ditambang hingga tenggelam hanya karena peningkatan penghasilan asli daerah mengakibatkan batas negara tetangga melebar/mencaplok ke wilayah NKRI (kasus Pulau Nipah dengan Singapura), pegawai otonomi pertanahan putra daerah tentu akan merasa benar jika tanah-tanah yang telah dikuasai bukan putra daerah ganti saja sertipikatnya untuk keluarganya, atau permohonan pertanahan bukan putra daerah akan dicari-cari kekurangannya dengan pertimbangan ini adalah otonomi. Seorang Bupati/Walikota dan ketua DPRD yang disegani oleh masyarakat setempat (yang dipilih umumnya putra daerah karena otonomi) tentu sangat mendukung pegawai BPN putra daerah yang berpihak pada otonomi.

Sertipikat tanah tidak cukup hanya dipandang sebagai produk pelayanan masyarakat. Fungsi sertipikat tanah sesungguhnya lebih berfungsi sebagai alat kendali bagi manajemen P4T hingga terkondisikan rasa keadilan dalam pemilikan dan penguasaan tanah dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah sedemikian rupa agar terwujud sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Kesimpulan

Apabila Kantor Pertanahan dan Kanwil BPN dijadikan perangkat daerah maka operasional manajemen pertanahan sangat dipengaruhi oleh kepentingan daerah sekalipun kriteria yang menjadi acuan operasional di tetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Produk pelayanan pertanahan bukan produk pelayanan masyarakat yang umum kita kenal seperti SIM, KTP, Paspor dan Akta Nikah, sertipikat tanah merupakan alat kendali bagi Pemerintah agar manajemen administrasi pertanahan menjamin terwujudnya rasa keadilan dalam menguasai dan memiliki tanah dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang menjamin mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat NKRI.

Saran

Jika NKRI tetap dijadikan komitmen Bangsa dan Negara, sebaiknya pengelolaan administrasi pertanahan ditangani oleh Pemerintah Pusat, sehingga upaya mengubah status Kantor Pertanahan menjadi perangkat daerah sebaiknya dibatalkan. Otonomi pertanahan akan mengganggu keutuhan NKRI.

Agar kinerja BPN menjadi lebih mampu mengefektifkan dan mengefesienkan penyelenggaraan pemerintahan dalam negeri, BPN disamping sudah saatnya menjadi kementrian, juga mutklak memerlukan lembaga perpajangan hingga desa yaitu  lembaga yang menangani penatausahaan data bidang tanah dan pemanfaatannya secara swadaya, swakarya dan swadana serta multiguna yaitu dengan mengembangkan Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM) sebagaimana yang dikembangkan di jawa Tengah (baru taraf mulai pengembangan di seluruh desa-desa di Jawa Tengah).

Setelah beroperasinya MPBM di desa dan di tingkat Pusat menjadi kementrian maka baru lembaga BPN mampu mengawasi daun jatuh di atas sebidang tanah.

Jika keutuhan NKRI tetap agar terjaga, maka tidak tepat jika Kantor Pertanahan dan Kanwil BPN diserahkan kepada Pemerintah Daerah menjadi perangkat otonom.  


Bambang S. Widjanarko,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS