MPBM Jawa Tengah Sejalan Dengan PNPM


Otonomisasi Pemerintahan (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) dan perangsangan Penanaman Modal (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal) telah dengan sengaja berusaha memudarkan sifat ke Nasionalan dan Kerakyatan dari urusan pertanahan berdasarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). Penyebab timbulnya upaya pemudaran ini lebih besar bersumber dari tekanan ekternal ketimbang internal pengelola urusan pertanahan. Bangsa Indonesia secara bertubi-tubi mendapatkan cobaan dan rongrongan agar NKRI terpecah belah. Hal ini berdampak pada penanganan urusan pertanahan yang hingga kini mendapatkan perhatian sebelah mata sebagaimana adanya ketidakseimbangan bangunan kelembagaannya terhadap tanggung jawab yang dibebankannya.

Pembangunan kelembagaan pertanahan sejak Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 mengalami pasang surut. Fusi antara yang menangani hak (hukum), pendaftaran tanah (kadastral), penggunaan tanah (land use) dan penguasaan tanah (landreform) dalam satu atap Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negeri adalah upaya menyatukan agar dapat dikelola secara utuh penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) secara terintergrasi. Pengelola P4T kemudian dirasakan tidak mampu mewujudkan tanggung jawabnya jika administrasi pertanahan berada di bawah administrasi pemerintahan dalam negeri oleh karena terdapat kekhususan tanggung jawab yaitu menyangkut kontribusi administrasi pertanahan (P4T) terhadap kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat NKRI pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Dengan pengalaman tersebut Pemerintah membentuk Badan Pertanahan Nasional yang berasal dari Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negeri. Setelah berbentuk BPN dan saat ini disebut BPN RI adalah lembaga yang mengelola administrasi pertanahan seluruh wilayah NKRI. BPN RI memiliki Kantor Wilayah BPN di tingkat Provinsi dan Kantor Pertanahan di tingkat Kabupaten/Kota adalah perangkat pemerintah pusat yang ada di daerah. Kewenangan pemberian hak atas tanah dan pendaftarannya sudah didesentralisir kepada Kantor Pertanahan bukan ke Pemerinatah Daerah. Sedangkan sebagian dari urusan pertanahan meliputi sembilan kegiatan telah didesentralisir kepada Pemerintah Daerah sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
  
Setelah ada pelimpahan 9 kegiatan tersebut kepada Daerah dan semakin luas kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah, timbul pertananyaan apakah 9 kegiatan urusan pertanahan tersebut sudah ada pemerintah daerah yang dapat melakukannya sesuai dengan tuntutan masyarakat. Pada kenyataannya terdapat keraguan dalam melaksanakan 9 kegiatan tersebut. Salah satunya adalah rencana penggunaan tanah berupa jenis kegiatan apa yang boleh ada di atas sebidang tanah yang paling efektif, baik secara ekonomis maupun pelestarian lingkungan hidup untuk mewujudkan kemakmuran dari tanah, diukur melalui produktivitas atau melalui nilai ekonomi kawasan. Dengan kata lain daun jatuh di atas setiap bidang tanah dapat dipastikan memberikan kemakmuran, tetapi juga tidak merusak lingkungan hidup bagi pemilik maupun masyarakat.

Dengan tanggung jawab memastikan daun jatuh di atas sebidang tanah setiap saat, maka tanpa didukung partisipasi penuh masyarakat dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan tanggung jawab pusat maupun daerah, lembaga pertanahan yang ada pada tingkatan kabupaten/kota tidak akan mampu memikulnya.
 
Sistem Informasi Pertanahan Nasional (SIMTANAS) yang berguna bagi daerah untuk menyusun rencana penggunaan tanah belum lagi terbangun. Tidak tertibnya sistem penatausahaan surat keterangan tanah dari desa yang menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pemberian hak dan pendaftarannya, serta belum terbangunnya kesadaran masyarakat atas kewajiban yang harus dipenuhi apabila menguasai dan menggunakan tanah menjadikan kelembagaan pertanahan belum efektif dalam mengemban tanggung jawab. Kemampuan Pemerintah membangun pendaftaran bidang tanah dengan hasil 30% selama kurun waktu 47 tahun, berarti diperlukan ratusan tahun untuk membangun SIMTANAS.

Sumber utama lambatnya proses pelayanan pertanahan mendukung penananaman modal termasuk pendaftaran tanah adalah sebagian besar disebabkan karena data base bidang tanah belum terbangun di seluruh Indonesia. Pembangunan data base bidang tanah memerlukan biaya yang sangat besar. Selain masalah data base, hal yang paling mendasar adalah dapat dipastikannya setiap pemilik atau yang menguasai bidang tanah dapat menggunakan tanah dan menjamin memberikan nilai tambah yang signifikan berkontribusi kepada kemakmuran dan pelestarian lingkungan. Sasaran demikian tanpa partisipasi masyarakat mustahil dapat dilaksanakan.

Oleh karena itu maka sudah saatnya  Bangsa Indonesia melihat kembali hasil pengembangan pasal 33 ayat 3 dan Pasal 18 UUD 1945 yang mendasari penyelenggaraan manajemen pertanahan nasional dan manajemen pemerintahan dalam negeri. Perlu dipertanyakan kontribusi penanganan manajemen pertanahan terhadap pengentasan kemiskikan.

Jawa Tengah telah mulai langkah besar dengan membangun manajemen pertanahan berbasis masyarakat (MPBM) melalui gotong royong dan pemberdayaan masyarakat agar dalam kurun waktu 5-10 tahun dapat dibangun di 8.553 desa. Dengan menggunakan pendekatan gotong royong dan partisipasi masyarakat serta koordinasi instansi terkait dan lembaga swadaya masyarakat maka hal ini sejalan dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), sebagaimana pidato Bapak Presiden dan masyarakat Jawa Tengah telah terlebih dahulu mencoba dan mengembangkan konsepsi serta membiayai pembangunannya.

Bambang S. Widjanarko,
Mantan Kakanwil BPN Jawa Tengah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "MPBM Jawa Tengah Sejalan Dengan PNPM"

Posting Komentar